Di Majelis Ini
Di majelis ini
Setiap jumat malam
Budak-budak titipan Tuhan
Berdatangan bersama ceria
Yang mereka punya
Duduk manis di atas sejadah bisu
Dengarkan
Lafalkan
Dendangkan
Ayat ayat Tuhan
Yang diajar sang Guru
Malam merangkak Isya
Budak-budak tak semanis Maghrib tadi
Sang Ustadz pun bermuram durja
Lalu pergi membawa kecewa
Lubang di Wajah
Sumini tak lagi berhak menatap mentari
Hanya mampu dengar kicau burung
Tanpa pernah mampu lagi memandang lama
Kupu-kupu yang menari di kebun tetangga
Sudah sejak berpuluh tahun lalu
Menabung sakit yang membukit
Menanung perih di wajah yang bolong
Dimakan makhluk pembawa penyakit
Sebab kanker kulit
Melenyapkan mata
Sedang idung bersisa sedikit
Yang hanya ada lubang
Sebesar kepalan tangan Ade Rai
Di sebulatan mukanya
Air Mancur
Asyik bermandikan air mancur
Mana peduli hiruk pikuk hari senin
Mengitari bundarannya
Yang penting kutu di kepala
Gatal di badan
Pergi untuk kembali
Pengemis Puisi
Kau yang pernah mengemis puisi padaku
Sudahlah berhenti membujukku
Dengan tatapan mata elangmu itu
Memandang mata itu sering buatku rapuh
Biar kau tahu ramuan puisiku
Terlalu indah untuk kuberikan cuma-cuma
The Kite Runner
Berlari melomba angin
Bersama semangkuk besar semangat
Tak mau kalah dengan sejawat
Meski jempol kaki mencium batu
Sandal jepit putus tak kompromi dulu
Tertusuk duri yang menyisakan perih
Ku tak ambil peduli
Karena kawan
“Layang-layang putus di atas sana punyaku”
Musuh Penulis
Lembaran kertas kosong adalah musuh
Mata pena adalah senjata
Tentara itu aku sendiri
Terserah akulah
Untuk taklukkan wilayah
Yang antah berantah
Dan menang atas musuh itu
Halo!
Halo…halo…halo
Ah, suara seksimu itu
Masih tak berubah
Walau hanya berucap Halo…!
Serasa membelai gendang telingaku
Kembali memporakporandakan segenap hatiku
Sebab suaramu
Mengobati rinduku
Dan terkadang rindu
Cukup dipendam dalam hati saja
Gemerlapmu
Terlihat gemerlapmu si sudut malam
Lupakah kau pada rumah kasih sayang kita
Ada riak-riak bahagia antara kau dan aku di sana
Aku tahu tak mudah membersihkan dosa berjelaga itu
Bahkan buih buih di lautan pun tobat tuk menghilangkannya
Seperti sudah tak sabar bercumbu dengan malaikat maut dan kawan-kawan
Memakai baju compang-camping
Sambil menelusuri bibir pantai neraka
Bulir-bulir kristal air mata setetes pun tak berarti
Hanya menunggu peri bahagia
Memutar tongkat ajaibnya padamu
Maka sucilah
Kisruh DPT
Kau anggap apa kami ini
Rakyat jelata tak tahu apa-apa
Yang hanya bisa bertanya mengapa
Jelang pesta demokrasi
Barulah kau tampak kami
Tepat diujung bola mata hitammu
Kini demi yang terbudak oleh nafsu
Kau relakan apa saja
Memastikan hak suara kami
Ya!cuma hak suara
Sedang para hak lain menunggu
Yang tak pasti
Dan parade penderitaan pun
Dilanjutkan seperti biasa
Pengemis Puisi
Kau yang pernah mengemis puisi padaku
Sudahlah berhenti membujukku
Dengan tatapan mata elangmu itu
Memandang mata itu sering buatku rapuh
Biar kau tahu ramuan puisiku
Terlalu indah untuk kuberikan cuma-cuma
Angin
Mari merunduk sejajar dengan angin
Lampaui batas lazim
Tinggalkan segala keangkuhan
Yang menyelinap di jiwa
Mari berselancar di tubuh angin
Jangan tergesa-gesa
Santai saja
Angin tak kan meninggalkanmu
Ia menuntunmu menuju yang baik
Kuas
Tersudut di kamar gelap berdebu
Kubiarkan kuasku di sana
Sebelum bersapa dengan mereka
Ku tak lupa berkuas diri dulu
Tanpa kuasku
Takut mereka tahu asliku
Dan pintaku
Kumohon jangan ambil kuasku
Agrin:Turtles Can Fly
Bermuram durja di mulut jurang yang menganga
Semua harapan tlah terlepas dari pelukan
Sejak lima tentara bejat
Renggut paksa kehormatan ini
Yang berbuah bayi lelaki buta tak berguna
Ku benci ia dan mereka sampai malaikat maut menjemput raga
Dan hari ini
Pada sebuah danau berpenghuni
Ku titipkan ia pada kura-kura
Yang terbang melayang di danau
Tenggelam pelan di dasarnya
Aku pun turut mengikutinya ke jalan surga yang menanti
Terjun pasti di jurang
Tempat biasa aku duduk termenung di sisinya
Semoga kami damai disana
Tak ada lagi perang
Yang hanya menyisakan luka
Semusim
Tanpa kau dedaunan di musim ini
Melambai jatuh ke bumi tak berirama
Tanpa kau rerumputan
Menari malas bersama angin dingin
Sedingin dirimu
Memang ku hanya seorang wanita
Merapuh di saat senja
Bersemangat di saat fajar
Maukah kau selalu ada disaat pagi menyapa?
Agar disetiap musim kisah kita terkenang selalu
Batas Lelah
Saat menutup mata mau beranjak ke alam mimpi
Terasa lah semua lelah
Sisa-sisa perjalanan menapaki hari
Di batas lelah ku termenung
Adakah lelah ini jadi berkah
Untukku, dia, mereka dan semua orang
Atau hanya kesia-siaan semata
Tak tahu lah aku
Yang kutahu di batas lelah ini
Ku masih harus mencari makna ikhlas
Di selipan lembaran kitab yang terbaca
Keluarga Abstrak
Kebersamaan tak ada lagi
Kasih sayang kini terbang
Terbawa angin kesibukan 24 jam
Kurcaci-kurcaci kecil tidur
Dalam dongene tidurnya sendiri
Tanpa kecupan hangat dikening pun yang tertinggal
Keluarganya seakan abstrak dimata jernihnya
Ada tapi tak dapat digapai
Hanya kepulan asap hitam
Menyingkap kehampaan tangan mungilnya.
Jubah Sang Malam
Hitam
Pekat
Membentang tak terbatas
Bermanikkan bintang dan purnama
Benar-benar hasil rancangan sempurna
Sang Maha Indah
Pada Sepenggal Masa Lalu Ayah
Tidakkah aku berhak tahu
Cukup ayah dan mereka berkaku lidah
Bangkai saja akan menguap baunya
Jika tak rapat menyimpannya
Sampai pada akhirnya
Aku harus tahu
Lalu bolehkah aku tahu siapa
Dia yang serupa wajah dengan aku.
Secangkir Puisi Hangat
Pagi menyanggupi diri
Tamniku nikmati secangkir puisi hangat
Menghirup aromanya
Menyeruput sedikit demi sedikit maknanya
Mengalir apa adanya
Merasuk sampai di ujung kalbu yang beku
Karena malam tadi begitu dingin
Laskar Pemburu Layang-Layang
Berlari melomba angin
Kalahkan calon jawara lainnya
Meski sandal jepit putus kaki tersandung batu
Tertusuk duri
Tak peduli
Mata yang menatap langit
Silap sedikit hilang arah
Kemana posisi Yang Putus Yang Tak Bertuan itu
Akan jatuh
Berkilo-kilo meter sudah
Peluh bercucuran basahi wajah dan baju
Sang Primadona terus mengayun melambai anggun di angkasa
Sampai di sini sang juara masih belum ada
Terus dan terus mengejar
Hingga akhirnya
Pemuda yang sedari tadi
Berlari dengan batang bambunya
Hentikan kompetisi
Layang-layang pun berpindah
Menggantung sempurna di punggungnya
Ia pun berjalan dengan gagah
Bak serdadu menang perang
Bukan Gerimis Terakhir
Lamat-lamat kutatap gerimis
bak sekumpulan jarum yang jatuh satu-satu
menusuk bumi
ku kecap kembali kenangan manis
dalam gerimis aku melamarmu
kau begitu anggun
dalam balutan jilbab dan gamis
Lagi, untuk sekian kali
selalu di jendela renta ini
tempat sehari-hari aku bermimpi
menunggu gerimis
berharap kau ada di sisi
sayang, kau tak mungkin kembali
Asing
Bau anyir menggedor-gedor saraf penciumanku
Masuk tanpa permisi
Ke segala penjuru
Aku lemah tek berdaya
Lelah berpayah-payah
Gempar
Sejak lahir ia sudah
Mengantongi banyak ketidaktahuan
kenapa ia dilahirkan
Kemana ibu dibawa sang dunia
lalu ayah yang diajak malaikat maut
untuk tak pernah kembali
Gempar, Cuma itu yang ia tahu
Nama yang tersemat
Erat
Rekat
Di jidat
Ada kegemparan
Iringi sajak-sajak kelahirannya
Dari hubungan tak sah orangtuanya
Kini ia hanya sendiri
Perempuan Senja
Kutemukan ia
di deretan rak-rak buku berdebu
di perpustakaan
sosoknya memang senja
namun hatinya penuh pendar-pendar mentari
matanya berbinar-binar
kunang-kunang ilmu bersarang di sana
selalu menenteng tas
berpenghuni lembaran-lembaran bermakna
untuk dibagikan padamu
agar kau tahu
perpustakaan rumah belajar modern
bagi masyarakat
visi misi itu yang diusung
tak akan berhenti
hingga umur dipasung waktu
walau berjuang seorang
demi mimpi peradaban ilmu
Oleh Nurul Fauziah Mahasiswi IAIN-SU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda..?