Thabrani meriwayatkan sebuah hadist dari Ubadah bin Shamit r.a, bahwa Rasulullah bersabda : Ramadhan, bulan yang penuh berkah telah datang kepadamu. Didalamnya Allah melimpahkan anugerah kepada kalian. Dia menurunkan rahmat dan menghapus sekian banyak dosa. Allah akan melihat bagaimana kalian berlomba-lomba mengerjakan kebaikan didalamnya dan membangga-banggakan kalian kepada para malaikat-Nya. Oleh sebab itu tunjukkanlah kebaikan dirimu kepada Allah, sesungguhnya orang yang celaka adalah yang tidak mendapatkan rahmat Allha selama menjalani Ramadhan.
Selamat datang Ramadhan, bulan yang sangat saya, anda, dan kita semua nanti-nanti. Ini merupakan satu moment besar bagi kitabersama berubah, dan saling mengubah menuju yang terbaik.
Ucapan selamat kepada anda, akan kedatangan bulan penuh kejutan ini. Sembari mendoakan agar Ramadhan kali ini berhasil menebarkan semerbak wangi keimanan dan menorehkan keistimewaan-keistimewannya ke kita semua.
Inilah Ramadhan, bulan yang sangat agung telah datang menjenguk kita dengan membawa sumber-sumber kebaikan dan nuansa kerohanian yang semarak. Apakah kita sebagai pemuda harapan keluarga, bangsa, dan agama telah menyadari betapa besar nilai ramadhan ini? Apakah kita memiliki semangat yang memadai untuk menginvestasikan keistimewaan-keistimewaannya, dan sudah mempersiapkan diri untuk menghirup semerbak keharumannya?
Anda juga pastinya akan sangat setuju, ketika saya mengatakan bulan ini merupakan bulan kejutan. Sebab, tidak bisa dipungkiri lagi, dibulan yang penuh hikmah dan berkah ini sangat banyak kita dapatkan kejutan-kejutan baru, yang dapat kita rasakan seiring perkembangan dan pertumbuhan usia kita.
Bulan Ramadhan ini juga akan menjadi sangat berarti jika kita isi dengan berbagai amalan-amalan yang bermanfaat, seperti yang sedang dilakukan oleh teman-teman dari Komunitas Penulis Santri Medan. Komunitas penulis yang didirikan oleh beberapa Alumni pesantren Ar-Raudhatul Hasanah ini terus berupaya mengisi kekosongan liburan semester kuliah dengan amal bakti sosial dalam bentuk pelatihan kepenulisan Gratis bagi siswa/I Islam di Propinsi Sumatera Utara. Kegiatan yang sedang berjalan ini diharapkan mendatangkan kontribusi yang baik demi kebaikan, serta perkembangan ummat, amin.
Perkembangan serta menambahnya jumlah komunitas-komunitas kepenulisan di negeri ini merupakan bukti nyata dari kesadaran masyarakat akan pentingnya menulis. Tak heran jika kita sering mendengan nama seperti Lembaga Baca Tulis (eLBeTe) yang di prakarsai oleh Bang Ali Murthado, ada juga Komunitas Penulis Santri (kops) yang diketuai oleh Fauzan Arrasyid, ada Komunitas Sastra Indonesia yang dibina oleh Idris Pasaribu, tak ketinggalan Forum Lingkar Pena (FLP) Medan yang diketua oleh Win. RG.
Kesadaran serta perubahan paradigm yang semakin maju di tengah-tengah masyarakat dalam hal ini rasa sadar akan pentingnya menulis ternyata sudah ditanggapi serius oleh Islam, jauh sejak empat belas abad yang silam. Dalam Islam, menulis merupakan sebuah kewajiban setelah perintah untuk membaca (Iqra`) yaitu belajar-meneliti-menelaah. Menulis berarti menyimpan apa saja yang kita ketahui dan lihat dari media yang dapat diakses oleh siapa saja. Dalam perkembangannya, menulis mendapatkan posisi yang sangat urgent dalam perkembangannya dalam sejarah Islam.
Semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Eropa yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam. Dan berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi membaca dan menulis yang pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu telah ditinggalkan.
Pada kesempatan kali ini, saya sengaja mengutip beberapa keistimewaan menulis yang sangat sering kita lupakan bahkan sengaja dilupa-luapkan. Dari tulisan Hj. Airin Rachmi Diany, SH, MH menuliskan bahwa beberapa keistimewaan menulis diantaranya :
Menulis Sebagai Ibadah
Faktor yang harus dijadikan sebagai pijakan dasar untuk menulis adalah orientasi yang jelas. Menulis harus ada orientasi ke-akhiratan, artinya kegiatan menulis harus bisa bernilai ibadah. Tatkala hal ini telah terpenuhi maka aktifitas menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang bahkan akan membuat para penulis semakin termotivasi untuk menulis.
Disamping itu, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mulia karena ia mengambil peran kenabian dalam hal menyampaikan berbagai kebenaran yang masih tersembunyi kepada khalayak ramai/publik(umat). 4 (Empat) sifat Rasul adalah etika yang mesti dipenuhi oleh seorang penulis. Pertama, ‘Shiddiq’ atau benar. Seorang penulis harus menyampaikan kebenaran dalam isi tulisannya.
Kedua, ‘Tabligh’ atau menyampaikan. Kegiatan menulis adalah bagian dari interpretasi dan transmisi sifat tabligh ini. Disamping itu, kewajiban untuk menyampaikan bagi seorang penulis bisa dimaknai sebagai etika membuat sebuah tulisan, agar sebuah tulisan bernilai ibadah/pahala disisi Allah maka tulisan itu harus mengandung nilai kebenaran dalam penyampaiannya.
Ketiga, ‘Amanah’ atau terpercaya. Tulisan yang disajikan harus memenuhi kualifikasi amanah, hal ini bisa dilakukan jika penulis itu sendiri adalah seorang yang memiliki karakteristik ‘amanah’ atau terpercaya, artinya ia tidak hanya pandai menulis, menasehati atau mengkritik orang lain, tapi juga berupaya agar ia mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatannya. Merupakan dosa besar jika memerintahkan orang lain mengerjakan suatu kewajiban sementara dia sendiri tidak mengindahkannya.
Keempat, ‘Fathanah’ atau cerdas. Seorang penulis harus memenuhi persyaratan ‘cerdas’ dalam menulis. Hal ini bisa dipahami karena menulis tanpa ilmu akan menyebabkan berkurangnya unsur-unsur kebenaran yang tersampaikan, atau bahkan jauh sama sekali dari kebenaran, dan bisa diprediksi pada akhirnya syaithan-lah yang akan menjadi gurunya. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Menulis tanpa membaca berarti kita menyampaikan sesuatu tanpa dasar yang valid dan otentik yang pada satu waktu tertentu akan membuat kita menyampaikan suatu kekeliruan yang fatal. Sebaliknya, membaca tanpa menulis berarti membiarkan apa yang ada di dalam otak kita tak tereksplorasi dengan sempurna.
Tulisan Rancang Peradaban
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa menulis dalam Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dengan tulisan, kita bisa berdakwah(menyebarkan kebenaran), mengajari, menyebarkan ide dan pemikiran, melontarkan gagasan, menyampaikan kritikan atau hanya sekedar memberi tanggapan. Sebaliknya, dengan tulisan seseorang bisa juga menyebarkan kebatilan, merusak moral, mem-provokasi, menghina, menghasut, memfitnah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya.
Dengan tulisan, seseorang bisa mencoba merancang dan merumuskan bentuk peradaban dan masa depan impian atau kehidupan ideal yang didambakan. Banyak bukti sejarah yang membenarkan asumsi ini. Misalnya; bagaimana dahsyatnya kekuatan novel ”Ayat-ayat Cinta” dan ”Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy sanggup membius ribuan remaja Muslim Indonesia, putra dan putri dengan berbagai pesan Islamnya, sehingga banyak sekali diantara mereka yang bermimpi dan berjuang menjadi jelmaan(reinkarnasi) tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut, seperti Fahri, Azam dan sebagainya. Dalam novel tersebut mereka digambarkan sebagai aktor yang benar-benar mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam realita kehidupan sesungguhnya. Pribadi mereka diungkapkan bak seorang aulia yang memiliki akhlak paripurna.
Sampai disini, kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa menjadi senjata melawan kezaliman ketika meriam telah dihancurkan, ketika senapan dan mesiu telah tenggelam dalam lautan. Maka, adalah wajar jika di era ”Orde Baru” Soeharto yang mantan presiden kita itu begitu gencar memberangus dan mengejar-ngejar para penulis. Sebab, Soeharto meyakini kekuatan pena lebih dahsyat daripada senapan, lebih tajam daripada ujung pedang. Maka, ketika kita ”malas menulis” yang akan terjadi adalah berbagai ketimpangan dan bahkan penjajahan. Wallahu a’lam bisshawab.
*Penulis adalah ketua Komunitas Penulis Santri (kops) dan juga aktif di Pers Mahasiswa DInamika IAIN-SU
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda..?