rss

Labels

About Me

Foto saya
Ialah organisai Intra kampus IAIN SU yang bergerak dalam bidang jurnalistik, LPM (Lembaga Pers Kampus) sebagai wadah tempat para Mahasiswa/i IAIN SU menyalurkan kreasi,inspirasi dan apresiasi yang gemar, tertarik dan berbakat dalam bidang Jurnalistik, Tulisan, photografi, sastra dll.yang tertuang dalam bentuk Tabloid yang setiap caturwulan sekali di terbitkan, didirikan pada Tahun 1993 Sekretariat : kampus II IAIN SU. Gedung AULA Lantai I

Minggu, 26 September 2010

Pemimpin - Pemimpi


By Ozan The Lost Boy

Kala matahati berubah putih
Seorang melempar tanya
Melompat, kuraih-lemparkan jawaban

Apa Kau Pemimpin ?
Lantang kujawab ; Ya !

Juga Pemimpi ?
Ragu kujawan ; Ya !

Berani "Ya" Takut "Tidak"
Cermin pantulan Pemimpinku kini
Memimpin seolah tak mau mimpi
Mimpipun jelas lari menjadi pemimpin

Kapan si "sadar" menemuimu...?
sederet nama pemimpinku ;
Soekarno hingga SBY ; Lafran Pane hingga Ahmat Sayuti ; Almihan hingga Faiz Isfahani ; Ali Murthadho hingga Maulana...

Harapan jangan pecah
beton, bahkan lebih kuat
Aku yakin

KAU SEORANG PEMIMPIN
KARENA KAU SEORANG PEMIMPI

INI AKU -----> JUJUR

Oleh Ozan The Lost Boy

Aku ini...Jujur..!
Jujur...ini Aku...!
Ini Aku...Jujur...!

Belum juga yakin?
Kapan yakinnya?
Mengapa harus yakin?
Bagaimana bisa yakin?

Ah, banyak pandanganmu wanita..!
Mengintaiku, seolah mencari lubang kekuranganku..
terakhir, ini aku...! Jujur,

Tetap kau pantau dari kedalaman terendah
seolah keyakinan mulai melayang meninggalkan,
menurun sehingga susah didaki,
menaik sampai-sampai susah dituruni,
terbalik dunia-bersama kecurigaanmu, wanita...!

Cukup,
Ini Aku...! Jujur

Kamis, 23 September 2010

MENSYUKURI NIKMAT KEMERDEKAAN

Oleh : Fauzan Arrasyid *Tambah Gambar

MInggu, 15 Agustus merupakan hari yang cerah dari biasanya. Kalau selama ini sahurku ditemani oleh suara rintikan hujan yang kejar-kejaran jatuh membasahi bumi. Kuawali pagi ini dengan membaca buku karangan Erwandi Tirmizi yang berjudul Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan. Saya buka halaman pertama, tertulis disitu tanggal pembeliannya yakni tanggal 18 Agustus 2008, bertepatan dengan hari kelahiranku. Karena pada saat itu nuansa kemerdekaan sangat kental terasa, saya membelinya walau tidak membacanya sampai habis ketika itu. Tahun ini, kalau pada bulan agustus Gairah Kemerdekaan dirasakan sangat meriah, pada tahun ini, gairah itu kembali kita rasakan ditemani dengan gairah nikmatnya Bulan Ramadhan. Membuat perayaan ini terasa begitu meriah. Selain bersyukur dapat menikmati Ramadhan tahun ini, hendaknya kita juga mensyukuri nikmat karena juga dapat merasakan gairah kemerdekaan perjuangan bangsa sekitar 65 tahun silam.

Proklamasi yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, atau 17 Agustus Tahun 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Hari itu awal dimulai terbukanya pintu kemerdekaan Indonesia. Semua rakyat saat itu berusaha berumah dan berkembang, seiring aura kemerdekaan yang dirasa bersama. Cukup lama kita dijajah, tiga setengah abad dijajah oleh colonial belanda dan terakhir empat tahun kita dijajah oleh Negara Matahari Terbit Jepang. Tak heran jika setiap tanggal 17 Agustus seluruh rakyat merayakannya, guna menghormati dan merasakan nilai-nilai perjuangan para pejuang.

Kini memasuki bulan Agustus, nuansa merah-putih pun mulai terlihat. Di jalan-jalan raya sudah banyak pedagang yang menjual bendera merah-putih. Setiap rumah, gedung dan bangunan lain maupun di jalan-jalan kecil juga tak ketinggalan. Seluruh warga Indonesia bersiap merayakan Hari Kemerdekaan.Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia selalu identik dengan upacara 17 Agustus dan berbagai perlombaan. Bagi warga Indonesia, melaksanakan upacara bendera pada 17 Agustus merupakan sebuah kewajiban, sekaligus sebagai ungkapan dari rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa. Maka di setiap instansi dan lembaga di Indonesia melaksanakan upacara. Hal lain yang tidak ketinggalan dalam menyambut Hari Kemerdekaan adalah, berbagai lomba yang diadakan di setiap wilayah dimana kita tinggal. Dari mulai lomba makan kerupuk yang tidak pernah absen di setiap tahunnya sampai lomba olahraga dan lomba-lomba lain yang lebih bebeda di setiap wilayah menjadi tradisi tiap tahunnya. Tetapi, benarkah kita sudah mensyukuri nikmat kemerdekaan itu? Atau kita hanya senang berpawai ria tanpa ada nilai yang kida dapat?

Hidup dalam cengkaraman penjajah yang selalu bertindak sewenang-wenang; merampas hak-hak, mencaplok tanah, mempekerjakan secara paksa tanpa imbalan, selain cemeti yang tak henti-henti mendera tubuh yang hanya dibalut kain seadanya, bila ada seseorang yang berbicara menuntut hak-haknya, tak jarang disumbat dengan berbagai senjata, hingga ia diam seribu bahasa.

Cuplikan salah satu sudut kehidupan bangsa Indonesia yang terjajah, sebelum 65 tahun yang silam, mungkin tidak terbayangkan oleh generasi belakangan yang hanya mengeyam nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, akibat dari terlupakannya kepedihan hidup di bawah kangkangan penjajah, hilangnya rasa syukur. Oleh karena itu Allah mengingatkan para shahabat akan nikmat kemenangan di perang Badr, yang sebelumnya mereka dalam kehinaan dan lemah, Allah SWT berfirman:

"Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya" (Ali Imran: 123)

Allah ingatkan para shahabat akan kepedihan hidup mereka sebelum kemenangan agar bisa mensyukurinya.
Untuk mengingatkan generasi ini, saya kira, kita tidak perlu harus memaksa mereka untuk menonton film-film tentang penjajahan Belanda di bioskop dengan dipungut bayaran. Cukup diingatkan mereka akan kepedihan teman-teman sebaya mereka anak-anak terjajah di Irak dan Palestina, setiap hari mereka saksikan hidup bergelimang kesengsaraan, menghadapi kebengisan dan kekejaman penjajah yang hanya mau menyapa mereka dengan senjata penghancur dan alat-alat berat yang setiap saat siap meruntuhkan rumah tempat mereka bernaung, dan tak jarang mereka bersimbah air mata dipaksa berpisah dengan orang tuanya, tak tahu entah kapan mereka akan saling bersua -semoga Allah mempertemukan mereka di dalam surga-Nya-.

Cara mensyukuri nikmat kemerdekaan

A. Mensyukuri dengan kalbu: dalam bentuk pengakuan bahwa nikmat kemerdekaan semata-mata berasal dari Allah. Dan perwujudan dari bentuk syukur ini para pendiri bangsa telah menggoreskan pena mereka dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45: "Dengan rahmat Allah Yang Maha Esa…".

Bila ini diingkari tidak menutup kemungkinan, Allah akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (azab). Seperti yang terjadi pada kaum kafir Quraisy yang mengganti nikmat Allah (Muhammad shallahu alaihi wasallam) dengan mendustakannya, Allah berfirman: "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan" (QS. Ibrahim:28)

B. Mensyukuri dengan lisan: Dalam bentuk bertahmid dan bertahlil kepada-Nya, serta berterima kasih dan menyebut jasa baik para pahlawan, juga tak lupa mendoakan mereka, semoga amalnya diterima Allah. Menyebut jasa baik tersebut juga bagian dari syukur kepada Allah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam: "Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah"

(HR.Abu Daud, dishahihkan oleh Ahmad Syakir).

C. Mensyukuri dengan perbuatan dalam bentuk:

Sujud syukur saat nikmat kemerdekaan itu tiba, ini saya kira, telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Setiap kita memperoleh nikmat dianjurkan langsung bersujud, berdasarkan hadits Abu Bakrah, dia berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bila datang kepadanya kabar gembira atau diberitakan, beliau serta-merta bersujud dalam rangka bersyukur kepada Allah". (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Bani).
Mengisi nikmat kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah menuju ridha-Nya, dalam berbangsa dan bernegara.

Ada beberapa perbuatan yang sering kita saksikan di setiap bulan Agustus yang bertentangan dengan makna syukur, diantaranya; lomba goyang yang diiringi musik antara dua orang yang berlawanan jenis kedua kening mereka dirapatkan dan tengahnya diletakkan bola kecil, puncak peringatan agustusan dengan diringi musik dan tidak jarang disaat itu minuman memabukkan berkeliaran dari satu tangan ke tangan yang lain. -Naudzubillah- orang mensyukuri nikmat Allah dengan berbuat maksiat kepada-Nya. Perumpamaan mereka tak ubahnya seperti kaum yang disinyalir Allah dalam firman-Nya,

Katakanlah : "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut, dengan mengatakan : "Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur". Katakanlah : "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan kemudian kamu kembali mempersekutukannya"(QS. Al An'aam: 63-64)

Kesimpulan

Banyak cara untuk mensyukuri nikmat Kemerdekaan ini. Bisa dari hati, lisan, bahkan dari perbuatan. Terserah anda pilih yang mana. Semuanya benar, yang salah adalah anda tidak menyukuri nikmat yang sangat besar ini. Semoga melalui tulisan singkat ini, dapat menjadi cahaya bagi kita semua, ummat Islam. Untuk senantiasa bersyukur, atas segala kenikmatan yang ternyata sangat sering kita lupakan. Selamat Bersyukur, dan Merdeka !

*Penulis adalah Mahasiswa IAIN-SU Fakultas Syariah Jurusan Ahwalul Syahsiyah (AS) Juga santri Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan


Selasa, 21 September 2010

Merayakan Kemerdekaan Indonesia ; Pers Jangan Mau DISETIR

Oleh : Fauzan Arrasyid*

Seperti yang tertulis di website resmi IKADI menyatakan, tanggal 17 setiap bulan Agustus kita memperingati hari kemerdekaan negeri kita. Pertanyaan klasik tapi selalu relevan untuk dipertanyakan: apakah kita sudah benar-benar merdeka?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan, penjajahan ; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa. Dari definisi ini, mari kita bertanya kembali: apakah kita sudah benar-benar merdeka?

Negeri kita adalah negeri yang kaya dengan berbagai macam sumber daya alam, baik yang terpendam didalam tanah, diatas tanah, maupun yang ada di lautan kita yang luas. Namun semua itu seolah-olah tidak ada bekasnya. Negara-negara kapitalis telah mengeruk dan mengeksploitasinya. Kapal-kapal asing dengan leluasa menjarah hasil lautan kita. Bahkan negeri kita justru dililit utang yang luar biasa jumlahnya, yang kita sendiri belum tahu berapa generasi lagi hutang itu bisa kita lunasi. Apakah ini yang disebut kemerdekaan?

Angka kemiskinan begitu tinggi. Harga-harga semakin melonjak, sementara rupiah semakin anjlok. Dimana-mana rakyat harus antre untuk bisa mendapatkan minyak tanah, minyak goreng, beras murah, dan sebagainya. Biaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Lapangan kerja sedemikian sulit. Rakyat menjerit! Apakah ini yang disebut kemerdekaan?

Secara politik, apakah negara kita juga sudah benar-benar merdeka dan berdaulat? Betapa seringnya kita tidak berani untuk mengambil sikap dan keputusan politik yang benar-benar kita mau karena takut dengan bayang-bayang hegemoni asing. Demikian pula berbicara soal martabat, apakah negara kita punya martabat di mata dunia? Silakan Anda jawab sendiri.

Bentuk lain dari penjajahan gaya baru, yang bersifat nonfisik, adalah penjajahan opini. Para penjajah baru yang berusaha melanggengkan kekuatan kapitalisme global dalam rangka menguasai dunia, termasuk menguasai negeri kita, telah mensosialiasikan dan mempermainkan berbagai macam isu untuk memuluskan agenda-agenda mereka. Diantara isu-isu tersebut adalah HAM, demokratisasi, jender, dan perdagangan bebas. Mereka berusaha mempermainkan isu-isu tersebut sembari menerapkan standar ganda yang sangat hipokrit.

Disamping itu, yang tidak kalah hebatnya adalah penjajahan budaya. Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana budaya-budaya asing yang hedonis, materialis, dan merusak telah merasuk dan menjadi gaya hidup bangsa kita. Kita adalah bangsa yang mayoritas muslim, bahkan yang populasi muslimnya terbesar di dunia, namun mengapa budaya dan gaya hidup yang tidak islami jauh lebih hidup di tengah-tengah kita daripada budaya dan gaya hidup yang islami? Inilah serangan budaya yang sengaja dilancarkan kepada kita agar kita senantiasa terlena, lemah dan terus terjajah.

Merdekakan Diri Sendiri

Segala yang besar berasal dari yang kecil. Agar bangsa ini bisa benar-benar merdeka, setiap orang terlebih dulu harus memerdekaan dirinya sendiri. Diri kita disebut merdeka jika tidak menghambakan diri kepada sesuatu pun kecuali kepada Allah, satu-satunya Dzat yang memang layak mendapatkan penghambaan. Jika diri kita masih terbelenggu, terkungkung dan diperbudak oleh syetan, hawa nafsu, harta benda, kekuasaan, dan sebagainya maka itu berarti kita masih belum merdeka. Kita masih terjajah!

Pers Jangan Mau Disetir

Akan sangat berarti saya rasa ketika saya mengulang beberapa sedikit ulasan diatas. Angka kemiskinan begitu tinggi. Harga-harga semakin melonjak, sementara rupiah semakin anjlok. Dimana-mana rakyat harus antre untuk bisa mendapatkan minyak tanah, minyak goreng, beras murah, dan sebagainya. Biaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Lapangan kerja sedemikian sulit. Rakyat menjerit! Apakah ini yang disebut kemerdekaan?”

Meminjam ungkapan jurnalis kawakan Mahbub Djunaidi : « disetir ». Istilah disetir itu diutarakan Mahbub sekaitan dengan kasus pembredelan oleh rezim Orde Baru, ia adalah seorang mantan pemimpin NU dan juga PWI. Bagaimana penguasa Orde Baru berdaya upaya untuk menggunakan Pers demi kekuasaan dan pelanggengan kekuasaannya. Menurut Mahbub, bahwa penyetiran itu adalah: “Untuk memperoleh pers yang patuh, penurut. Sebab yang “aneh-aneh” mereka nggak suka.” Dan dijelaskannya mengenai pertarungan di dunia pers yang berkelanjutan. Yang penurut ya penurut manut, yang masih punya nurani tapi mesti memikirkan perutnya.

Kini, sudah 65 tahun Indonesia Merdeka. Proses mendapatkan kemerdekaan bukan saja didapat dari pejuang yang berperang, namun juga diupayakan dari tangan-tangan lihai jurnalis pada saat itu seperti harian Soeloeh Merdeka, surat kabar Sumut pertama sejak proklamasi Kemerdekaan, yang diprakarsai oleh Arif Lubis. Kemudian juga ada Pewarta Deli yang dibuat oleh Mohammad Said (pendiri Harian Waspada), Mahmud Nasution, Amarullaj Lubis dan kawan-kawannya. Juga terlihat sebuah koran buatan orang Tionghoa yang turut memberitakan perjuangan kemerdekaan RI, Harian Rakyat, yang dirintis oleh Wang Yen Si.

Artinya, Pers merupakan salah satu dari sekian banyak pejuang saat itu. Namun apa yang terjadi pada pejuang kita yang satu ini sekarang?

Disebutkan di Wikipedia.com bahwa Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kebebasan pers merupakan kemerdekaan per situ sendiri, terlepas dari kekangan belengu tekanan orang-orang yang memiliki kebutuhan dalam pemberitaan itu. Ini semua tertuang dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 diatas.

Melalui peringatan hari kemerdekaan Indonesia kini, yang mana para Jurnalis juga memiliki peranan penting dalam mencapai kemerdekaan itu, diharapkan Pers dapat bergerak sesuai dengan UU yang telah ditetapkan diatas, dan saya kira itu sudah mewakili arti dari kemerdekaan per situ sendiri. Sehingga peranan Pers dalam pembangunan bangsa dapat dijalankan dan dilaksanakan sesuai dengan makna kemerdekaan Indonesia. Saya kira ada lima rumusan besar perasan pers yang harus tetap independent, tanpa harus disetir.

1. Meningkatkan arus informasi dan meningkatkan motivasi masyarakat, baik yang tinggal di kota maupun di desa terhadap tujuan dan kegiatan pembangunan. Untuk itu pendekatan sosial-psikologik dan budaya perlu ditingkatkan.

2. Memanfaatkan teknologi komunikasi massa seperti radio, televisi dan pers. Di samping itu teknologi komunikasi tradisional tetap dipergunakan dalam usaha mengefektifkan komunikasi sosial antara pemerintah dan masyarakat.

3. Kegiatan penerangan dilaksanakan secara lintas sektoral demi pembangunan manusia seutuhnya.

4. Pendekatan komunikasi budaya, mensyaratkan suatu sikap yang persuasif, edukatif dan informatif dari semua pihak, agar melalui interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi secara nyata.

5. Meningkatkan peranan pers dalam pembangunan, yakni pers yang bertanggung jawab dan mampu mewujudkan fungsinya sebagai penyalur informasi yang obyektif dan sanggup melaksanakan fungsi kontrol sosial yang konstruktif. Pengembangan pers nasional diharapkan mampu menggelorakan semangat dan jiwa Pancasila serta menjamin suatu pertumbuhan pers nasional yang sehat dalam rangka perwujudan Demokrasi Pancasila.

Akhirnya, saya berharap kepada pemerhati jurnalis agar tetap berpegang teguh pada Independensinya sebagai pers. JANGAN MAU DISETIR!!!! dan Merdeka !. ***

*Penulis adalah Pemerhati Pers

UMMAT ISLAM HARUS MENULIS

Fauzan Arrasyid*

Thabrani meriwayatkan sebuah hadist dari Ubadah bin Shamit r.a, bahwa Rasulullah bersabda : Ramadhan, bulan yang penuh berkah telah datang kepadamu. Didalamnya Allah melimpahkan anugerah kepada kalian. Dia menurunkan rahmat dan menghapus sekian banyak dosa. Allah akan melihat bagaimana kalian berlomba-lomba mengerjakan kebaikan didalamnya dan membangga-banggakan kalian kepada para malaikat-Nya. Oleh sebab itu tunjukkanlah kebaikan dirimu kepada Allah, sesungguhnya orang yang celaka adalah yang tidak mendapatkan rahmat Allha selama menjalani Ramadhan.

Selamat datang Ramadhan, bulan yang sangat saya, anda, dan kita semua nanti-nanti. Ini merupakan satu moment besar bagi kitabersama berubah, dan saling mengubah menuju yang terbaik.

Ucapan selamat kepada anda, akan kedatangan bulan penuh kejutan ini. Sembari mendoakan agar Ramadhan kali ini berhasil menebarkan semerbak wangi keimanan dan menorehkan keistimewaan-keistimewannya ke kita semua.

Inilah Ramadhan, bulan yang sangat agung telah datang menjenguk kita dengan membawa sumber-sumber kebaikan dan nuansa kerohanian yang semarak. Apakah kita sebagai pemuda harapan keluarga, bangsa, dan agama telah menyadari betapa besar nilai ramadhan ini? Apakah kita memiliki semangat yang memadai untuk menginvestasikan keistimewaan-keistimewaannya, dan sudah mempersiapkan diri untuk menghirup semerbak keharumannya?

Anda juga pastinya akan sangat setuju, ketika saya mengatakan bulan ini merupakan bulan kejutan. Sebab, tidak bisa dipungkiri lagi, dibulan yang penuh hikmah dan berkah ini sangat banyak kita dapatkan kejutan-kejutan baru, yang dapat kita rasakan seiring perkembangan dan pertumbuhan usia kita.

Bulan Ramadhan ini juga akan menjadi sangat berarti jika kita isi dengan berbagai amalan-amalan yang bermanfaat, seperti yang sedang dilakukan oleh teman-teman dari Komunitas Penulis Santri Medan. Komunitas penulis yang didirikan oleh beberapa Alumni pesantren Ar-Raudhatul Hasanah ini terus berupaya mengisi kekosongan liburan semester kuliah dengan amal bakti sosial dalam bentuk pelatihan kepenulisan Gratis bagi siswa/I Islam di Propinsi Sumatera Utara. Kegiatan yang sedang berjalan ini diharapkan mendatangkan kontribusi yang baik demi kebaikan, serta perkembangan ummat, amin.

Perkembangan serta menambahnya jumlah komunitas-komunitas kepenulisan di negeri ini merupakan bukti nyata dari kesadaran masyarakat akan pentingnya menulis. Tak heran jika kita sering mendengan nama seperti Lembaga Baca Tulis (eLBeTe) yang di prakarsai oleh Bang Ali Murthado, ada juga Komunitas Penulis Santri (kops) yang diketuai oleh Fauzan Arrasyid, ada Komunitas Sastra Indonesia yang dibina oleh Idris Pasaribu, tak ketinggalan Forum Lingkar Pena (FLP) Medan yang diketua oleh Win. RG.

Kesadaran serta perubahan paradigm yang semakin maju di tengah-tengah masyarakat dalam hal ini rasa sadar akan pentingnya menulis ternyata sudah ditanggapi serius oleh Islam, jauh sejak empat belas abad yang silam. Dalam Islam, menulis merupakan sebuah kewajiban setelah perintah untuk membaca (Iqra`) yaitu belajar-meneliti-menelaah. Menulis berarti menyimpan apa saja yang kita ketahui dan lihat dari media yang dapat diakses oleh siapa saja. Dalam perkembangannya, menulis mendapatkan posisi yang sangat urgent dalam perkembangannya dalam sejarah Islam.

Semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Eropa yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam. Dan berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi membaca dan menulis yang pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu telah ditinggalkan.

Pada kesempatan kali ini, saya sengaja mengutip beberapa keistimewaan menulis yang sangat sering kita lupakan bahkan sengaja dilupa-luapkan. Dari tulisan Hj. Airin Rachmi Diany, SH, MH menuliskan bahwa beberapa keistimewaan menulis diantaranya :

Menulis Sebagai Ibadah

Faktor yang harus dijadikan sebagai pijakan dasar untuk menulis adalah orientasi yang jelas. Menulis harus ada orientasi ke-akhiratan, artinya kegiatan menulis harus bisa bernilai ibadah. Tatkala hal ini telah terpenuhi maka aktifitas menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang bahkan akan membuat para penulis semakin termotivasi untuk menulis.

Disamping itu, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mulia karena ia mengambil peran kenabian dalam hal menyampaikan berbagai kebenaran yang masih tersembunyi kepada khalayak ramai/publik(umat). 4 (Empat) sifat Rasul adalah etika yang mesti dipenuhi oleh seorang penulis. Pertama, ‘Shiddiq’ atau benar. Seorang penulis harus menyampaikan kebenaran dalam isi tulisannya.

Kedua, ‘Tabligh’ atau menyampaikan. Kegiatan menulis adalah bagian dari interpretasi dan transmisi sifat tabligh ini. Disamping itu, kewajiban untuk menyampaikan bagi seorang penulis bisa dimaknai sebagai etika membuat sebuah tulisan, agar sebuah tulisan bernilai ibadah/pahala disisi Allah maka tulisan itu harus mengandung nilai kebenaran dalam penyampaiannya.

Ketiga, ‘Amanah’ atau terpercaya. Tulisan yang disajikan harus memenuhi kualifikasi amanah, hal ini bisa dilakukan jika penulis itu sendiri adalah seorang yang memiliki karakteristik ‘amanah’ atau terpercaya, artinya ia tidak hanya pandai menulis, menasehati atau mengkritik orang lain, tapi juga berupaya agar ia mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatannya. Merupakan dosa besar jika memerintahkan orang lain mengerjakan suatu kewajiban sementara dia sendiri tidak mengindahkannya.

Keempat, ‘Fathanah’ atau cerdas. Seorang penulis harus memenuhi persyaratan ‘cerdas’ dalam menulis. Hal ini bisa dipahami karena menulis tanpa ilmu akan menyebabkan berkurangnya unsur-unsur kebenaran yang tersampaikan, atau bahkan jauh sama sekali dari kebenaran, dan bisa diprediksi pada akhirnya syaithan-lah yang akan menjadi gurunya. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Menulis tanpa membaca berarti kita menyampaikan sesuatu tanpa dasar yang valid dan otentik yang pada satu waktu tertentu akan membuat kita menyampaikan suatu kekeliruan yang fatal. Sebaliknya, membaca tanpa menulis berarti membiarkan apa yang ada di dalam otak kita tak tereksplorasi dengan sempurna.

Tulisan Rancang Peradaban

Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa menulis dalam Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dengan tulisan, kita bisa berdakwah(menyebarkan kebenaran), mengajari, menyebarkan ide dan pemikiran, melontarkan gagasan, menyampaikan kritikan atau hanya sekedar memberi tanggapan. Sebaliknya, dengan tulisan seseorang bisa juga menyebarkan kebatilan, merusak moral, mem-provokasi, menghina, menghasut, memfitnah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya.

Dengan tulisan, seseorang bisa mencoba merancang dan merumuskan bentuk peradaban dan masa depan impian atau kehidupan ideal yang didambakan. Banyak bukti sejarah yang membenarkan asumsi ini. Misalnya; bagaimana dahsyatnya kekuatan novel ”Ayat-ayat Cinta” dan ”Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy sanggup membius ribuan remaja Muslim Indonesia, putra dan putri dengan berbagai pesan Islamnya, sehingga banyak sekali diantara mereka yang bermimpi dan berjuang menjadi jelmaan(reinkarnasi) tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut, seperti Fahri, Azam dan sebagainya. Dalam novel tersebut mereka digambarkan sebagai aktor yang benar-benar mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam realita kehidupan sesungguhnya. Pribadi mereka diungkapkan bak seorang aulia yang memiliki akhlak paripurna.

Sampai disini, kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa menjadi senjata melawan kezaliman ketika meriam telah dihancurkan, ketika senapan dan mesiu telah tenggelam dalam lautan. Maka, adalah wajar jika di era ”Orde Baru” Soeharto yang mantan presiden kita itu begitu gencar memberangus dan mengejar-ngejar para penulis. Sebab, Soeharto meyakini kekuatan pena lebih dahsyat daripada senapan, lebih tajam daripada ujung pedang. Maka, ketika kita ”malas menulis” yang akan terjadi adalah berbagai ketimpangan dan bahkan penjajahan. Wallahu a’lam bisshawab.

*Penulis adalah ketua Komunitas Penulis Santri (kops) dan juga aktif di Pers Mahasiswa DInamika IAIN-SU

RAMADHAN ; GERAKAN MEMAKMURKAN MASJID !

Oleh Fauzan Arrasyid *

Dalam Ensiklopedia Bebas Wikipedia, menjelaskan bahwa Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".

Kata masjid dalam bahasa Inggris disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata mezquita dalam bahasa Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai dalam bahasa Inggris secara luas.

Menara-menara, serta kubah masjid yang besar, seakan menjadi saksi betapa jayanya Islam pada kurun abad pertengahan. Masjid telah melalui serangkaian tahun-tahun terpanjang sejarah hingga sekarang. Mulai dari Perang Salib sampai Perang Teluk. Selama lebih dari 1000 tahun pula, arsitektur Masjid perlahan-lahan mulai menyesuaikan bangunan masjid dengan arsitektur modern.

Masjid sebagai tempat yang paling urgent bagi ummat muslim memiliki dua fungsi besar. Yaitu berfungsi sebagai tempat beribadah dan berfungsi juga sebagai pengembangan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ibadah wajib, masjid menjadi tempat favorit menjalankan ibadah wajib maupun sunnah. Masjid, pada bulan Ramadhan, mengakomodasi umat Muslim untuk beribadah pada bulan Ramadan. Di bulan ini pula, masjid-masjid menyelenggarakan pengajian yang amat diminati oleh masyarakat. Tradisi lainnya adalah menyediakan iftar, atau makanan buka puasa. Ada beberapa masjid yang juga menyediakan makanan untuk sahur.

Pada malam hari setelah shalat Isya digelar, umat Muslim disunahkan untuk melaksanakankan shalat Tarawih berjamaah di masjid. Pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masjid-masjid besar akan menyelenggarakan I'tikaf, yaitu sunnah Nabi Muhammad saw. untuk berdiam diri di Masjid ( mengkhususkan hari-hari terakhir ramadhan guna meningkatkan amal ibadah ) dan memperbanyak mengingat Allah swt.

PROBLEMA MASJID KINI

Hidup penuh dengan problema, karena hidup memang membutuhkan problema guna menjadi lebih baik dan berkembang. Begitu juga masjid, sebagai tempat yang urgent bagi ummat Islam, Masjid juga berdiri dan berkembang melalui problema-problema tersebut. Berikut beberapa problema ummat yang saya rekam dari acara TVRI Sumut melalui program Kultumnya.

Parkir Masjid-Parkir Sensitif

Mengatakan masjid sebagai tempat parkir yang tidak aman memang begitu kejam, namun beginilah keadaannya sekarang. Bangunan yang didirikan 14 abad lalu menjadi sangat sensitif bagi pengguna kendaraan. Permasalahan ini tentunya sangat perlu diperhatikan dan dipikirkan. Sehingga paradigma masyarakat, yang selalu menggambarkan parkiran masjid sebagai parkiran yang sangat rentan dengan pencurian dapat dihilangkan. Bukan hanya itu, kebiasaan buruk masyarakat seperti menjadikan masjid sebagai tempat parkir persinggahan juga sangat sering kita dapatkan. Ini sangat sering terlihat di Masjid Raya Al-Maksum, yang kerap menjadi parkir persinggahan orang-orang yang ingin belanja di Supermarket sekitar masjid.

Infaq ; Masih Mengganggu Tertib Lalu Lintas

Tertib dan senantiasa hormat pada peraturan lalu lintas merupakan kewajiban semua ummat. Namun, saya kira ini bisa menjadi bahan pertimbangan, bersangkutan dengan peletakan kotak infaq yang kerap menghalangi jalan. Di Medan sendiri, begitu banyak masjid, bahkan yang sudah terlihat besar dengan sengaja meletakkan kota infaq tepat ditengah jalan dengan berdalih dari situlah pemasukan guna perawatan serta perbaikan masjid didapat. Apa tidak ada cara lain?

Usulan untuk kemakmuram masjid

Beberapa masalah diatas sebenarnya sudah kita rasakan bersama. Sebelumnya saya meminta maaf sekiranya ada tulisan yang sedikit kasar membahas masalah masjid. Saya hanya berharap melalui introspeksi diri akan apa yang kita lakukan kepada Masjid selama ini, dapat menjadi pendorong masjid agar lebih makmur kedepannya.

Pada program TVRI Sumut kemarin, bersama Drs. H. Azhari Akmal Tarigan sebagai moderator, juga memberikan beberapa usul yang perlu disosialisasikan dan digalakkan kepada seluruh pemerhati masjid. Berikut beberapa usulannya.

Membuat Unit Usaha

“Masjid bukan tempat berbisnis”, kini sudah saatnya kita hilangkan, terlepas dari kepentingan pribadi. Jika saja, sebuah masjid memiliki unit usaha bisa dicontohkan seperti perbengkelan, swalayan, rumah sakit/poliklinik, bukankah akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Coba kita pikirkan bersama, jika saja masjid memiliki swalayan pastinya membutuhkan pegawai. Memiliki bengkel misalnya, pasti juga membutuhkan pegawai, Terakhir jika memiliki sebuah Rumah Sakit juga membutuhkan pegawai. Masjid yang berfungsi memakmurkan ummat akan memiliki peran yang sangat penting disini. Karena masyarakat sekitar bisa diambil menjadi pegawai disana, dan akan sangat membantu bagi masyarakat yang kurang mampu memperhatikan kesehatan, karena kini masjid memiliki rumah sakit.

Program-Program Memakmurkan Masyarakat

Dengan menciptakan program-program pendukung kemakmuran masyarakat, masjid akan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat itu sendiri, layaknya hubungan timbal balik. Seperti menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan ummat, Perpustakaan, konsultasi agama, bahkan memberikan beasiswa ke anak-anak yang kurang mampu. Coba kita hitung, pada tahun 2004 saja ada terdaftar 714 masjid di kota Medan. Sekarang di Tahun 2010 bisa dipastikan ada 1500 jumlah masjid yang terdaftar. Kalau saja setiap masjid dapat memberikan beasiswa kepada 10 anak, terhitung sudah 15000 ANAK yang terbantu sekolahnya, luar biasa bukan.

Menciptakan Badan Kontak Masjid

Saya juga menyadari, walau banyak saran dan usulan untuk kemakmuran masjid, akan sangat tidak berguna tanpa penggerak. Disinilah peran Badan Kemakmuran Masjid sangat dibutuhkan. Bila saja kita semua bergerak menciptakan Badan Kontak Masjid yang berfungsi sebagai Institusi Silaturrahmi Masjid sehingga seluruh masjid dapat menyatukan Visi dan Misi akan sangat mudah memakmurkan masjid.

Kesimpulan

Akhirnya, harapan yang sangat besar saya layangkan kepada kita semua. Sehingga dapat menjadikan Bulan Ramadhan tahun ini menjadi Bulan Memakmurkan Masjid. Bukan hanya pengurus BKM yang bertanggung Jawab memakmurkan masjid, namun kita semua memiliki tanggung jawab itu. Sehingga hubungan timbal balik dapat terlaksana. Masjid dimakmurkan Masyarakat-Masyarakat dimakmurkan Masjid. Sudah saatnya kita bertanya, BERAPA BANYAK YANG SUDAH SAYA BERI KEPADA AGAMA INI. Dan jangan bertanya SUDAH BERAPA BANYAK YANG SAYA DAPATKAN DARI AGAMA INI. Semoga, ramadhan ini menjadi berkah bagi kita semua, Amin.

*Penulis Merupakan Ketua Komunitas Penulis Santri (kopS) dan juga aktif berdakwah melalui tulisan