rss

Labels

About Me

Foto saya
Ialah organisai Intra kampus IAIN SU yang bergerak dalam bidang jurnalistik, LPM (Lembaga Pers Kampus) sebagai wadah tempat para Mahasiswa/i IAIN SU menyalurkan kreasi,inspirasi dan apresiasi yang gemar, tertarik dan berbakat dalam bidang Jurnalistik, Tulisan, photografi, sastra dll.yang tertuang dalam bentuk Tabloid yang setiap caturwulan sekali di terbitkan, didirikan pada Tahun 1993 Sekretariat : kampus II IAIN SU. Gedung AULA Lantai I

Senin, 22 November 2010

'GUE GAK CUPU !'


Penulis : Nurul Fauziah

Anugrah Roby Syahputra

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan 1 : 2010

Buku yang mendidik namun ringan untuk dibaca. Cocok untuk kondisi anak muda sekarang yang mulai mengklasifikasi pergaulan. Dimana mereka mulai memilah teman yang kelihatan gaul untuk ditemenin dan menjauhi anak yang kelihatan cupu.

Dalam buku ini coba ditafsir istilah gaul dan cupu. Bagaimana ‘gaul” yang sekarang lebih bermakna negative ketimbang positif. Dan bagaimana si cupu yang kelihatan negative ternyata punya sisi positif dibalik kecupuannya

Isi buku ini coba meluruskan bagaimana ‘gaul’ yang semestinya, yang bukan ditunjukkan melalui atribut melainkan kualitas diri. Dan bagaimana si cupu harus membawa dirinya agar tak merasa terasing dari lingkungan pergaulannya.

Tips nd trik bagi si cupu untuk memperbaiki kualitas dirinya juga dibagikan disini agar para anak muda yang ngerasa dirinya ‘salah satu dari cupu-cupu yang ada’ bisa meraih sukses.

Intinya buku ini bagus untuk di koleksi siapapun yang selama ini enggan bergaul di dunia nyata dan lebih memilih tenggelam dalam buku atau jejaring social yang tak membutuhkan penampakan.

Resensor: Ratna Dw (Penulis bergiat di FLP Sumatera Utara)

Rabu, 03 November 2010

HUBUNGAN MEDIA DENGAN PENULIS PEMULA?

Oleh Fauzan Arrasyid *


“Mana ada peluang penulis pemula untuk media massa, bang !”

Pernyataan ini keluar begitu cepat dari seorang peserta pelatihan jurnalistik “Motivasi Menulis” yang dilaksanakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika IAIN-SU bekerjasama dengan Komunitas Penulis Santri (kops), Sabtu 16 Oktober 2010. Ruang pelatihan terasa tambah ricuh ketika pernyataan itu dibenarkan oleh beberapa peserta yang mendukung.

Senyum simpul terlihat diwajah trainer pelatihan. Menandakan kemenangan sebagai seorang trainer akan segera dirasa. Sontak peserta terkejut, ketika mendengar pernyataan trainer yang bukannya memberikan solusi malah membenarkan pernyataan peserta. Ia mengatakan dengan mantap “Media mana yang mau menerima naskah dari seorang penulis pemula seperti Anda ?”

“Penulis Pemula pasti sangat susah menerbitkan tulisannya di media, semua media lebih mementingkan tulisan penulis hebat dan terkenal !”

“ Saya masih sangat pemula, sangat tidak mungkin dapat bersaing dengan penulis senior !”

Fakta yang terlupakan

Anda mungkin sangat sering mendengar pernyataan seperti diatas, bukan ? bila anda salah seorang dari penulis pemula, mungkin anda juga mengiyakan pernyataan-pernyataan itu. Anda setuju bahwa peluang penulis pemula sangat sempit bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Benarkah demikian ?

Sahabatku, saya tidak akan banyak berteori. Untuk menjawab kenyataan ini, saya mengajak anda untuk melihat beberapa fakta objektif yang termuat dalam bukunya Jonru Ginting Cara dahsyat Menjadi Penulis Hebat yang selama ini mungkin anda lewatkan.

o Sebelum Andrea Hirata menjadi terkenal seperti sekarang ini, sebelum ia menuliskan novel berjudul Laskar Pelangi, sebelum novelnya Laskar Pelangi menjadi best seller tingkat nasional dan dibaca jutaan orang. Apakah ada orang yang mengenal namanya ? Seorang Andrea Hirata saat itu juga sama seperti anda. Tidak dikenal jutaan orang, masih sebagai seorang penulis pemula. Sama seperti anda..!

o Sebelum menerbitkan novel Jomblo, Aditya Mulya juga masih sangat pemula.

o Sebelum menerbitkan buku Kambing Jantan, Raditya Dika juga masih sangat pemula.

Secara logika, tidak ada penulis yang tiba-tiba sukses dan terkenal. Mereka semua juga pasti pernah melewati status dengan nama penulis pemula. Kita mungkin lupa fakta ini, karena kita hanya mengenal nama-nama penulis ngetop setelah mereka terkenal. Apakah anda tahu bagaimana perjuangan mereka sebelum mereka menjadi terkenal ? ketika status mereka masih sama, sebagai seorang penulis pemula ?

Peluang Penulis Pemula di Media Cetak

“Apakah media cetak benar-benar menutup kesempatan bagi penulis pemula ?”

Tentu saja tidak ! Hampir semua media sebenarnya sangat terbuka terhadap naskah-naskah dari penulis pemula. Bagi sebuah media, yang terpenting dan yang paling diutamakan adalah tulisan-tulisan yang berkualitas dan sesuai dengan misinya. Artinya, keyakinan serta kepercayaan diri yang tinggi sebenarnya yang menentukan semuanya, sehingga lahirlah tulisan yang berkualitas.

Beberapa ketakutan serta anggapan salah, yang menjadi benteng penghalang menjadikan kita penulis yang berke pe-de an tinggi, saya dapat ketika mengikuti Pelatihan Kepenulisan oleh Komunitas Penulis Santri Medan (kopsMedan) yang bekerjasama dengan Lembaga Baca Tulis (eLBeTe SUMUT) beberapa bulan lalu.

Menulis itu tidak butuh bakat !

Orang bijak pernah mengatakan bahwa pengaruh bakat dalam meraih kesuksesan hanyalah 1 % saja. 98 % adalah hasil kerja keras, 1 % lagi adalah factor keberuntungan sebagaimana di tuils Malcom Dladwell dalam bukunya The Outliers. Begitu pulalah kiranya menulis, dalam sampul belakang bukunya, Gola Gong pengelola Rumah Dunia menuliskan hal ini dengan penuh keyakinan yang begitu besar. Ia menuliskan Menulis itu bukan bakat, tapi usaha yang terus diasah. Menarik bukan ?

Menulis tidak butuh keahlian

Bila anda menunggu hingga punya keahlian dan pengetahuan yang banyak untuk memulai menulis, anda tidak akan pernah menjadi ahli. Pengetahuan serta keahlian justru anda dapatkan dari peraktek menulis. Semakin sering menulis, maka keahlian anda akan semakin baik (Jonru Ginting).

Saya mendapatkan kata-kata bombastis diatas dari newsletter belajarmenulis.com. kata-kata tersebut begeitu menggairahkan bagi saya untuk memulai menjadi ahli. Toh saya tidak tahu kapan saya akan menjadi ahli. Jadi, anda tidak perlu menunggu untuk menjadi ahli dalam memulai sesuatu, tetapi keahlian tersebutlah yang akan dating jika anda memulai.

Takut menyalahi ejaan dan tata bahasa

Ketakutan seperti ini sering menimpa seorang yang mau mulai menulis. Ya, dia mau memulai tapi sudah takut terlebih dahulu. Maka, caranya hilangkanlah rasa taku itu. Jangan pernah memulai menulis dengan perasaan takut seperti ini. Karena ketakutan akan menghambat keluarnya ide-ide berilian anda.

kata depan disambung apa ya..? mengaakhiri kalimat langsung, titik dulu atau tanda kutip dulu ya..? yang benar berbagai atau perbagai ?...” untuk memulai menulis, hilangkan ketakutan-ketakutan seperti ini. Menulislah dengan segera dan tuangkan saja ide-ide yang ada. Menulislah sebebas-bebasnya, itulah yang disarankan Peter Elbow dalam bukunya Writing Without Teacher. Bebaskan dirimu dari ketakutan yang menyalahi ejaan dan tata bahasa. Bebaskanlah, karena untuk memulai menulis, anda harus terbebas dari semuanya.

Takut menyalahi pendapat orang lain

Pepatah arab mengatakan “Setiap kepala, memiliki pendapat yang berbeda”. Artinya, anda adalah anda, yang berpendapat dan mempunyai pandangan ! dan yang lebih penting, sandarilah pandangan tersebut pada sandaran yang benar.

“ Kalau saya menulis seperti ini, kira-kira pendapat orang gimana ya ? Wah saya masih terlalu muda gak ya, kalau menulis tentang hokum ? apa pendapat saya nanti tidak menyalahi pendapat para ahli ?” ketakutan-ketakutan seperti inilah yang sering menyapa mereka yang ingin mulai menulis. Maka untuk menghancurkan benteng kedua ini, sekali lagi, kosongkanlah perasaan-perasaan seperti ini. Menulislah, dan keluarkanlah keberanianmu. Thomas J. Stanley dalam bukunya The Millionaire Mind mengatakan ; Ada hubungan signifikan antara keberanian dan keberhasilan. Orang sukses selalu mengambil resiko untuk sukses, dan untuk mengambil resiko tersebut memerlukan keberanian.

Selamat, akhirnya anda menjadi penulis. Bukan penulis pemula !

Menurut saya, sudah saatnya status “Penulis Pemula” kita hapuskan dari kamus bahasa kita karena sepertinya juga menjadi penghalang untuk maju. Saya jadi teringat kata-kata pak Ali Murthado ketika mengisi pelatihan kepenulisan di kampus IAIN-SU, ia mengatakan Anda akan menjadi penulis ketika tulisan anda dibaca !. Perhatikan, beliau tidak memakai kata “Penulis Pemula”. Menarik bukan ?

Akhirnya, untuk menjadi seorang penulis sangat tepat bila kita memperhatikan salah satu pesan salah satu teman saya di facebook. Ia menuliskan Jangan Puas(a) Menulis. Artinya Semakin sering orang menulis dan semakin sering pula orang memikirkan (membaca) tulisannya, semakin bagus jualah karyanya.

Harapan terbesar saya tujukan kepada teman-teman sesame Mahasiswa agar berusaha dan sama-sama berusaha mencintai dunia kepenulisan. Agar menjadi Mahasiswa pengabdi dan pencipta. Semoga.

*Fauzan Arrasyd, kru Pers Mahasiswa Dinamika IAIN-SU juga sebagai Ketua Komunitas Penulis Santri Medan.

PERS MAHASISWA, MASIH PERLUKAH ?

Oleh Fauzan Arrasyid *


There are only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth. (Mark Twain)

Tentu bagi sebahagian kita para pemerhati dunia jurnalistik akan sangat setuju dengan ungkapan Mark Twain, Penulis Novel Life on the Mississippi ini. Bahwa hanya ada dua hal yang bisa membuat terang bumi ini, yakni sinar matahari dilangit dan pers yang tumbuh berkembang di bumi ini. Pers sendiri memang tidak bisa dipisahkan kaitannya dengan macam ragam informasi yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani peradabannya. Mulai dari persoalan corak warna hidup sampai hal yang detail sekalipun tentang sebuah eksistensi kehidupan.

Dalam peradaban manusia, Pers sangat dikenal mempunyai fungsi yang essential. Mulai dari education function (fungsi pendidikan) , Information (sumber informasi), entertainment (hiburan) dan social control (fungsi kontrol sosial). Sehingga wajar kalau kita melihat pers menjadi suatu kebutuhan dan menyebabkan “momok” bagi negara yang menerapkan sistem outhoritarian. Pers menjadi kekuatan maha dahsyat yang dapat menggerakkan siapa saja untuk berbuat seperti yang kita kehendaki atau sekedar mempengaruhi/menciptakan public opinion (komunikasi massa). Dan, pers sendiri terlanjur menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

PERS MAHASISWA

Jika kita cermati, Pers Mahasiswa merupakan gabungan dari dua unsur kata yakni Pers dan Mahasiswa. Pers berarti segala macam media komunikasi yang ada. Meliputi buku, majalah, Koran, bulletin, radio ataupun televisi serta kantor berita. Pers tentunya sangat identik dengan News/berita. Maka, ada benarnya juga ketika kita meleburkan kata News menjadi North, East, West, dan South. Yang bisa diartikan dengan datangnya arah informasi melalui empat penjuru mata angin (berbagai tempat). Oleh sebab itu, Pers/News hendaknya menganduk unsur-unsur publishita (tersebar luas dan terbuka), aktualita (hangat dan baru) dan periodesita ( mengenal jenjang waktu. Contohnya : harian, mingguan atau bulanan).

Mahasiswa sendiri mempunyai definisi bahwa kalangan muda yang berumur antara 19 – 28 tahun yang memang dalam usia itu manusia mengalami suatu peralihan dari remaja ke fase dewasa. Pada fase peralihan itu secara Psikologis Aristoteles mengatakan kaula muda mengalami suatu minat terhadap dirinya, minat terhadap sesuatu yang berbeda atas lingkungan dan realitas kesadaran akan dirinya. Sosok Mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan obyektif, sistematis dan rasional. Disamping itu, Mahasiswa merupakan suatu kelompok masyarakat pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi, tata nilai kepemudaan dan disiplin ilmu yang jelas sehingga hal ini menyebabkan keberanian dalam mereleksikan kenyataan hidup di masyarakat. Dan tata nilai itulah yang juga menyebabkan radikal, kritis, dan emosional dan secara perlahan menuju suatu peradaban/kultur baru yang signifikan dengan hal-hal yang bernuansa aktif, dinamis dan senang pada perubahan. sehingga dari dasar inilah, kawan-kawan bisa melihat ciri khas mahasiswa sebagai pengelola pers mahasiswa berbeda dengan pers umum.

(Harusnya) Pers Mahasiswa Berfungsi Sebagai :

Pers mahasiswa dikenal sebagai bagian yang utuh dari kehidupan perguruan tinggi. Di berbagai kampus terkemuka di tanah air kita, tradisi keberadaan pers mahasiswa telah berlangsung cukup lama. Hal tersebut sama dengan yang dijumpai di hampir setiap kampus di berbagai negara di dunia. Umumnya pers mahasiswa merupakan saluran informasi dan opini yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan analisis mahasiswa mengenai kehidupan berkampus, bermasyarakat dan bernegara. Kemampuan tersebut memang dibutuhkan sejalan dengan proses pembelajaran yang ditempuh oleh setiap mahasiswa.

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan pers mahasiswa seperti peluang melatih diri dalam hal kepemimpinan, memecahkan masalah, berperilaku jujur, objektif, seimbang, keterbukaan dan belajar melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang. Prinsip-prinsip jurnalisme yang menjadi acuan bagi pers mahasiswa, menuntun mereka untuk menerapkan hal-hal tadi dalam perilaku yang nyata tatkala menjalankan kegiatan pers mahasiswa sehari-hari.

Penulis sangat setuju dengan perkataan Zulkarimein Nasution seorang Pengajar Program Sarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Ia menuturkan bagaimanakah aktualisasi dan peran pers mahasiswa dalam era kebebasan pers. Ada beberapa kenyataan yang relevan dengan pertanyaan tersebut. Pertama, pers mahasiswa merupakan media ekspresi tempat mengemukakan pikiran dan pendapat di kalangan komunitas mahasiswa sebagai bagian dari komunitas akademis. Kedua, pers mahasiswa merupakan lahan penyemaian (breeding ground) bagi tumbuhkembangnya pelaku pers profesional. Ketiga, pers mahasiswa (pernah) menjadi “kawasan penyangga” (buffer zone) kebebasan pers di suatu masyarakat.

Keempat, pers mahasiswa diharapkan oleh masyarakat luas mencerminkan keunikan dalam isi pesan yang tidak dapat diakses dimana-mana di tempat lain, tapi hanya ada di pers mahasiswa, karena domisilinya yang khas di lingkungan universitas.

Sebagai sebuah komunitas, perguruan tinggi memang membutuhkan adanya saluran informasi yang memungkinkan warga komunitas dimaksud mengetahui apa yang tengah terjadi dan mereka dapat menyatakan respon mereka terhadap sesuatu hal yang sedang berlangsung di lingkungan komunitas tersebut mau pun lingkup yang lebih luas di luarnya. Untuk itulah pers mahasiswa hadir di lingkungan kehidupan kampus.

Seperti diketahui, pers mahasiswa berfungsi sebagai saluran ekspresi yang mewadahi kebebasan berpendapat atau pun juga dikenal sebagai kebebasan akademik yang menjadi karakter komunitas perguruan tinggi. Ciri penting dari kebebasan ini terletak pada kebertanggungjawabannya pada civitas akademika serta masyarakat secara keseluruhan. Dalam penerapannya, kebebasan akademik senantiasa dipagari oleh sejumlah rambu etika dan moral yang memandunya agar tidak keluar dari rel yang seharusnya. Memang mengenai hal ini senantiasa berkembang diskusi yang menarik tentang seberapa bebas dan seberapa bertanggungjawab praktek kebebasan itu dalam pelaksanaannya. Batasan yang definitif mengenai hal tersebut memang tidak mudah untuk dirumuskan. Namun yang lazim menjadi rujukan adalah nilai-nilai moral dan etik yang berlaku di masing-masing lingkungan. Di atas itu semua, hal ini merupakan pendidikan bagi mahasiswa mengenai hak dan kewajiban mereka berkenaan dengan kebebasan tersebut, yang kelak diharapkan menjadi bekal untuk menjadi seorang warga negara yang melibatkan diri (involved citizens) dalam kehidupan bernegara.

Selama ini pers mahasiswa juga telah terbukti merupakan tempat bersemainya bibit-bibit calon pelaku pers profesional. Telah banyak jurnalis dan tenaga manajerial pers profesional yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pers mahasiswa. Kelak mereka itu setelah menyelesaikan studi umumnya mendapat apresiasi dan tempat yang baik serta sambutan yang “welcome” di lingkungan pers profesional. Seorang maestro jurnalis kita, Rosihan Anwar menyatakan pers mahasiswa sebagai breeding ground buat tumbuhnya jurnalis professional. Ini tentunya merupakan pengakuan yang cukup membesarkan hati.

Berikutnya, pengalaman mengajarkan bahwa ketika iklim kehidupan sosial politik kita telah membelenggu ruang gerak pers professional dalam menjalankan fungsinya, pers mahasiswa tampil memerankan fungsi tersebut. Publik pernah merasakan peran yang dilakukan oleh — sebagai contoh — tabloid Gelora Mahasiswa (Universitas Gadjah Mada) dan Salemba (Universitas Indonesia) serta pers mahasiswa lainnya pada era 70-an manakala pers professional saat itu boleh dikatakan telah ”tiarap”. Hal itu tentu tidak terlepas dari dukungan pimpinan universitas dan seluruh civitas akademika serta adanya tradisi kebebasan akademik di perguruan tinggi.

Berikutnya, banyak hal yang dapat digarap oleh pers mahasiswa yang merupakan comparative advantage karena basisnya di perguruan tinggi. Hampir segala macam resources dan keahlian dalam beraneka bidang boleh dibilang ada di universitas. Itu semua merupakan asset yang amat berharga untuk mengembangkan pers mahasiswa yang berbobot dan mendapat tempat di hati khalayak.

Untuk itu diperlukan sejumlah langkah upaya agar cita-cita tersebut dapat dicapai. Pertama, perlu suatu panduan jurnalisme yang menjadi acuan dalam mengaktualisasikan peran pers mahasiswa di era kebebasan pers. Kedua, juga dibutuhkan sejumlah tuntunan praktis (practical guides) mengenai hal-hal teknis seperti reporting, editing, manajemen, serta monitoring dan evaluasi. Ketiga, dalam mengimplementasikan kebebasan pers, diperlukan pula referensi tentang etika jurnalisme. Keempat, kalangan pers mahasiswa perlu mengembangkan dan menjalin networking di antara sesama agar dapat saling membantu dan berbagi.

Sustainability: problem “abadi”

Akan tetapi, ternyata kebebasan saja tidak cukup untuk terwujudnya pers mahasiswa yang langgeng dan berkelanjutan. Ada sejumlah faktor penting yang menentukan hal itu, di antaranya adalah kebersediaan (willingness) para mahasiswa untuk menjadi pelaku yang tangguh dan ulet, semangat berdedikasi untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, apresiasi terhadap aktivitas pers mahasiswa, kemauan untuk terus menerus belajar dan belajar dan dukungan lingkungan yang memadai.

Mengapa pers mahasiswa di tempat kita umumnya mengidap penyakit discontinuity? Menirukan pepatah: jangan “patah tidak tumbuh dan hilang tanpa berganti”. Apakah ada kaitan persoalan ini dengan kesementaraan kemahasiswaan itu sendiri? Bisakah diupayakan agar meski pun mahasiswanya silih berganti, namun media pers mahasiswa di suatu kampus tetap langgeng dan berkelanjutan? Sebagai contoh, koran kampus Universitas Indonesia Salemba hanya berusia balita, lalu punah. Yang terus bertahan barangkali cuma Media Aesculapius di fakultas kedokteran UI.

Untuk itu sudah saatnya dilakukan langkah yang konkrit menata pengelolaan pers mahasiswa dengan menerapkan konsep keprofesionalan di semua bidang.

*Penulis adalah ketua komunitas penulis santri Medan juga aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika IAIN-SU