rss

Labels

About Me

Foto saya
Ialah organisai Intra kampus IAIN SU yang bergerak dalam bidang jurnalistik, LPM (Lembaga Pers Kampus) sebagai wadah tempat para Mahasiswa/i IAIN SU menyalurkan kreasi,inspirasi dan apresiasi yang gemar, tertarik dan berbakat dalam bidang Jurnalistik, Tulisan, photografi, sastra dll.yang tertuang dalam bentuk Tabloid yang setiap caturwulan sekali di terbitkan, didirikan pada Tahun 1993 Sekretariat : kampus II IAIN SU. Gedung AULA Lantai I

Minggu, 27 Juni 2010

Paris Van Java


“Satu juta dua ratus ribu…mungkin bisa,”

“Kamu yakin?”

“Insya-Allah!”

“Semoga Allah melindungimu, nak.”

Akhirnya aku mendapatkan uang yang cukup. Sudah dua bulan lebih mengumpulkannya. Bersusah payah plus berpeluh keringat. Hari ini aku puas.

Tiga bulan lalu. Saat senja menghantam rumah kami. di ruang tamu itu aku duduk menonton televisi. Sekoyong-konyong ibuku datang dan langsung duduk disampingku. Sejenak ia ikut hanyut dalam raungan gadis di dalam tv. Kemudian ia menyentuh pundakku.

“Mi..ibu belakangan ini sering mimpi aneh, tentang kakakmu..ibu takut.” Wajah ibu bekerut. Matanya sayu memandangku.

“Mimpi apa bu..jangan terlalu dipikirkan, kakak pasti baik-baik saja.” Kutenangkan hati ibuku. Namun, aku sendiri khawatir dengan kakak. Telah genap setahun ia tak mengirimi kami uang. Padahal sebelumnya ia rutin mengirimi kami setiap bulannya. Bukan, bukan karena ia tak mengirimi kami uang sehingga kami khawatir. Justru kami khawatir tentang keadaanya disana. Di kota orang; mengadu nasib, berpindah tempat kerja, nge-kost, dan hidup mandiri.

Setelah lepas dari perkuliahan di semester lima, kakak memberanikan diri mengikuti empat temannya berangkat ke Cibaduyut, jawa Barat. Yang pasti Ratna, teman kakak mengatakan kalau mereka akan bekerja di toko sepatu. Ibu yang awalnya enggan memberi izin, akhirnya luluh menyaksikan kakak merengek-rengek layaknya bayi minta diberi ASI. Kalau aku setuju saja, karena aku yakin kakak bisa menjaga dirinya. Ia telah terbiasa hidup mandiri. Itu berkat didikan ibu yang ekstra keras setelah ayah wafat di usia kakak belia. Aku sendiri kenal ayah hanya melalui foto hitam-putih-nya. Ia adalah seorang pedagang antar kota. Mungkin sifat ayah yang sering hilir-mudik ke kota orang menjadi dasar keinginan kakak untuk pergi.

Hari demi hari berhembus. Waktu ke waktu silih berganti. Secuil khabar tentang kakak tak kami dapat. Aku sendiri kelelahan setelah seminggu mencari informasi tentang keberadaan kakak melalui keluarga teman-temannya, namun hasilnya, nol. Ibu tak lagi bertoleransi. Ia murka. Ia menugasiku untuk menjemput kakak ke Jawa Barat. Aku shock. Menjemput kakak ke kota yang begitu besar tanpa tahu keberadaannya, itu sama saja seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Apalagi seorang saudara-pun kami tak punya disana. Aku pesimis.

“Jadi, ibu harus bagaimana! Membiarkan kakakmu hilang…itu yang kau mau, adik seperti apa kau ini?”

Ibu habis-habisan memarahiku. Sampai-sampai ia berlinang air mata. Tak tega kusaksikan ibu seperti itu. ini bukan adegan sinetron. Ini nyata! Dan kakakmu memang telah hilang! Sadarkah kau Fahmi! Hatiku membentakku. Mungkin hatiku juga kecewa dengan sikapku.

Alhamdulillah aku dapat job. Bang Adi menawariku kerja bersamanya. Kerjanya simple. Mengantar pesanan susu kedelai ke setiap rumah yang menjadi pelanggan tetap. Capeknya…banget! Karena rumah yang pelanggan yang berjauhan satu sama lain. Satu di utara, ada di selatan, tenggara, sampai ke timur laut sana. Naik sepeda pula, badan rasanya remuk.

Di awal aku menerima tawaran bang adi, telah kurencanakan dua bulan kedepan, sewaktu liburan semester –selama sebulan –aku akan berangkat ke Jawa Barat. Akan kutemukan kakak, dan kubawa ke hadapan ibu.

Hari ini. Dua bulan setelah aku menerima tawaran bang Adi bulu. Saat uang yang kukumpulkan selama dua bulan mencapai tujuh ratus rupiah, ibu datang membawa uang simpanannya lima ratus ribu rupiah. Ia percayakan padaku uang itu. uang yang sengaja ia kumpul dari menjual gorengan.

####

Aku pamit. Memohon do’a restu dari ibu. Tak kusangka liburan kali ini aku akan menjelajah jawa barat. Kupasrahkan perjalananku kali ini pada yang diatas. Aku hanya mampu berusaha. Kulayangkan langkahku menuju pelabuhan belawan. kuselipkan selembar kertas yang menjadi pedomanku untuk sampai ke tempat terakhir kakak menetap.

“Klas ekonomi non-seat, silakan menempati areal lantai di sekitar dek,” kata seorang lelaki yang memakai baju seragam.

“Apa? Tidur di lantai?” aku baru menyadari kalau tak ada kasur untuk tubuhku melepas penat. Disini aku baru menyadari arti seat dan non seat. Kulihat manusia berjubel-jubel di kapal ini. Untuk yang non seat, Mereka berlari-lari dari satu dek ke dek lain untuk mendapatkan areal yang strategis. Dengan cepat seluruh areal lantai penuh. Baik di dalam dek bahkan sampai keluar, di teras. Sedangkan aku masih terbengong. Tak tau aku harus kemana mengahamparkan matras ini. Berkeliling-keliling dari dek satu ke dek berikutnya tak jua ketemu tempat kosong untuk tidur. Sampai akhirnya aku melihat mushalla di luar dek atas. Kurehatkan tubuhku sementara disana. Kulihat ada kertas menempel, “Dilarang tidur di mushalla ini,” terpaksa kusandarkan tubuhku ke dinding. Aku tidur bersila.

Menjelang sore kusempatkan lagi berkeliling untuk melihat fasilitas yang sediakan KM. KELUD. Ya, fasilitas hiburan seperti karaoke, playStation, game arcade, dan bioskop ada disini.

Kudengar dari teman lama perjalanan mencapai dua hari dua malam dengan Rute: Belawan-Tanjung Balai Karimun-Batam-Tanjung priok. Selama dua hari itu aku makan dengan menu ala awak-nya; sekepal nasi putih pucat, seekor ikan penyakitan yang lebih rame duri daripada daging, dan sawi laut yang tersangkut di baling-baling kapal. Inilah makanan penumpang tanpa kasur ala awak kapal Kelud yang seratus persen pria. Kalau sedang beruntung, ikan tersebut kadang diganti dengan telur ayam yang direbus dengan air laut, atau telur dadar berbentuk pipih persis triplek. Dengan alternatif tambahan berupa ikan teri-kacang dan bawang goreng yang disiapkan ibu, aku berusaha menikmati makanan minim protein itu dengan rasa syukur. Ya, aku sangat bersyukur tidak ada rambut koki kapal atau irisan kuku yang sangat mungkin tercampur dengan makanan tersebut.

Aku sempat melihat adegan menyeramkan. Saat menaikkan dan menurunkan penumpang di Tanjung Balai Karimun. Kapal tidak bisa merapat karena keadaan pelabuhan dangkal, sehingga proses akses naik-turun melalui kapal harus menggunakan sejenis perahu kecil atau sekoci ke tengah laut baru kemudian naik ke kapal, itu jam delapan malam! Semua penumpang berebutan naik kapal melalui tangga kecil yang ditingkahi ombak dan bergoyang-goyang dengan resiko terjerembab ke laut. Keselamatan penumpang agaknya urusan nomer keseratus, yang penting kapal terisi banyak penumpang agar mendongkrak untung Pelni. Walau bagaimanapun, Indonesia sebagai negara kepulauan tidak bisa lepas dari Pelni. Masih banyak pulau yang tidak terjamah rute pesawat, dan kalaupun ada, harga tiket serupa harga satu hape berkamera. Masyarakat tentunya masih membutuhkan Pelni sebagai operator jasa pelayaran penumpang terbesar di Indonesia.

“Ini sekupang batam,” kata seorang teman kepadaku. Aku melongok melihat pelabuhan kecil itu. tak seperti yang kubayangkan.

“Kita bisa turun disini, kita teransit sekitar tiga jam, kamu mau?” aku menggeleng. Mataku lekat menatapi ratusan penumpang naik-turun dari dua tangga. Satu tangga akses masuk, satunya lagi akses keluar.

“B-a-t-a-m, Bila Anda Tiba Anda Menyesal…Bila Anda Tabah Anda Menang..” kata temanku itu lagi. Ia tertawa. Aku bingung. Apa betul menyesal menetap di pulau yang didentikkan dengan halaman belakang singapura ini. Lebih dari 500 perusahaan asing telah menanamkan investasinya, yang itu artinya terbuka-lah banyak lapangan kerja. Hem, menyesal mungkin dikaitkan dengan orang malas, pikirku.

####

Akhirnya sore itu kapal merapat ke pelabuhan Tanjung Priuk. Aku belum merasakan aroma Jakarta, sampai aku meninggalkan pelabuhan baru kutemukan duplikat terminal Amplas Medan. Sepertinya disini semuanya orang batak. Suara keras melengking, wajah petak hitam penuh kerutan, semangat membara, dan bau keringat serupa kaus kaki, semua berbaur disini.

Kutenteng ranselku mendekati bus-bus yang berjejer. Kusorot kaca-kaca bus itu, apakah ada yang jurusan cibaduyut. Mungkin karena baru pertama kali melangkahkan kaki di Jakarta, sikap tubuhku terbaca oleh kernet-kernet bus itu. beberapa orang mengahampiriku. Menanyakan tempat yang kutuju. Aku diam. Lebih baik aku menanyakannya dulu kepada petugas DisHub yang kulihat lalu-lalang.

“Pak, numpang Tanya..ke Cibaduyut naik bus apa ya?”

“Oh..itu, bus yang warna biru metalik…nanti turun di terminal leuwi panjang, di kota Bandung..dari situ banyak yang ke cibaduyut..”

Sekitar tiga jam-an waktu tempuh menuju kota Bandung. Aku semakin dekat. Tak bisa kukatupkan mataku. Bayangan kakak singgah-singgah ketika kulihat jalan-jalan, toko, air mancur, papan reklame, dan kernet bus. Halusisnasi itu dari bentuk rasa rinduku yang mendalam. Sekilas bayangan ibu datang. Wajahnya sayu di kelambui harapan semu. Akankah aku berhasil menemukan kakak? Atau aku hanya akan menambah penderitaan ibu saja?

Aku sampai di terminal leuwi panjang pukul Sembilan malam. Leuwi panjang juga gak beda dengan terminal Pinang Baris; buruk, bau pesing, dan cairan ludah tersebar menghiasi jalanan, sampah dan plastik berterbangan menghiasi langit malam, sungguh mungkin ini namanya seni keindahan terminal dikala malam menjamah. Tampil apa adanya. Kehidupan terminal juga tak kalah eksotis, sangat ramai warnanya, penumpang, supir, kenek, petugas DISHUB, pedagang, asongan, pengemis, dll, melebur di tempat ini. Walaupun lagit telah gelap, semangat mereka tak pernah terlelap…aku mengambil sekeping pelajaran kehidupan dari sana. Kehidupan jalanan... keras, tragis, kegilaan, kebahagian, kesenangan, bercampur aduk di tempat ini dan member prisma kehidupan.

Kusinggahi masjid untuk melakukan salat jama’ takhir, sekaligus mengatur rencana selanjutnya. Sempat kutelepon ibu, mengabarkan aku telah sampai dengan selamat. Ibu bertasbih, bertahmid, dan bertakbir.

Malam itu kuputuskan menginap di masjid setelah mendapat izin dari marbut dan nazir. Besoknya aku akan melakukan sweeping di sekitar pusat perbelanjaan sepatu cibaduyut yang terkenal pasar penjualan sepatu terpanjang di dunia. Aku harus menemukanmu kakak! Tapi perutku sekarang kriuk-kriuk, makan dulu ah! Kutelusuri pinggiran jalan yang dipenuhi pedagang-pedagang kaki lima. Rata-rata menjual makanan. Menunya lumayan bervariasi, sampai aku bingung ingin mencoba apa, dari; Nasi Rames, Batagor, Karedok, Kupat Tahu Petis Alkateri, bahkan cemilan dengan nama seram: otak-otak. Ya..philihanku ternyata jatuh pada nasi goreng. “Mangga[1] kang,” kata perempuan muda sambil meletakkan nasi goreng pesananku. “Gak neng, saya gak pesan mangga..” jawabku. Perempuan muda sebaya anak SMA itu malah tersenyum seraya pergi.

####

Pagi itu. aku langsung berangkat ke cibaduyut menaiki angkot jurusan cibaduyut-Karangsetra. Berbekal foto kakak, hanya itu. Supir menurunkanku di sebuah simpang dimana disana bertengger patung sepatu ukuran raksasa, “Dieu kang! Mangga.” Supir itu menatapku ke belakang, “Di sini?” jelasku. “Leres...eta sakantenan si neng[2]” tunjuk supir itu dengan jempolnya ke seorang perempuan, suaranya sangat lembut. Dapat kubedakan bagaimana dengan supir medan yang senang berteriak. Mungkin supir medan akan berkata, “Disana! Kau cari sendiri..lah.”

Ruas jalan dipenuhi toko-toko yang mayoritas menjual berbagai macam tas sandang, tali pinggang, sandal dan sepatu dari bermerek lokal hingga merek internasional. Mungkin sepatu Ronaldinho ketika tampil di laga Barcelona versus Real Madird juga dijual disini. Itu saking padatnya pertokoan dan lengkapnya merek yang mereka tawarkan. Dua jam aku berkeliling tak ada satupun yang mengenali sosok kakak dalam foto. Aku sempat berfikir apa kakak merubah penampilannya seperti; suntik silicon, sedot lemak, rebonding, operasi wajah, atau pakai susuk dari Ki Joko Bodo. Ber-istirahat sejenak sambil menikmati melon, semangka, mangga, pear, kelapa muda, apel, bengkoang, anggur, dan durian dalam satu pelastik dicampur es. Kubaca digerobaknya, “Es-Shanghai”. Tak kupedulikan apakah berasal dari Cina, Korea, Japan, atau Tibet sekalipun prihal dinamakan es-Shanghai. Puas membuang lelah, aku kembali berkeliling dari toko ke toko. Mulai tukang bakso sampai tukang soto. Tak hanya penjual, para pembelipun tak luput dari pertanyaanku. Namun sampai keringatku habis terkuras, sebji informasi-pun tak ada kudapat. Aku mulai stress. Padahal hanya ini alamat terkhir dari kakak. Apa aku harus mengobrak-abrik jawa barat agar menemukannya. Tidak mungkin kan? Apa aku harus melapor polisi? Polisi? Ya..itu jalan satu-satunya.

“Ini daftar orang hilang se-Bandung.” Polisi itu meletakkan lembaran kertas tebal di hadapanku.

“Ini, kabur dari rumah sebab ketahuan hamil, padahal umurnya masih empat belas tahun. Yang ini, hilang setelah mengikuti pengajian aliran sesat. Kemudian ini, hilang saat mendaki gunung tangkuban perahu. Nah! Kalau yang ini, hilang diculik kolor ijo…dan masih banyak lagi, itu pekerjaan rumah kami yang membludak..jadi adik jangan nambah lagi donk! Lapor polisi di medan saja,” kening polisi itu berkerut, “Bukan tidak mau membantu…ba..baiklah kamu tulis laporannya, tapi jangan banyak berharap..semua punya proses, bisa cepat juga lama, gimana?” ia memajukan wajahnya.

“Baiklah terserah bapak bagaimana baiknya.” Aku pasrah setelah melihat gelagat polisi itu. mungkin tak ada gunanya aku berharap dari penegak keadilan ini. Kupastikan setelah kutulis laporannya –ketika aku pergi –ia akan mencampakkan berkas itu ke tong sampah disebelahnya. Banyak kulihat kertas serupa formulir yang sedang ku-isi bergulung di dalam tong sampah itu. tapi aku berusaha bersikap husnudzhon.

Aku telah kehilangan arah dan tujuan di kota ini. Tak tau lagi apa yang harus kulakukan demi mencari kakakku. Kota ini besar, megah, dan sesak. Apa aku pulang saja? Itu sama saja membuat ibuku terkena serangan stroke. Waktuku memang masih dua puluh lima hari lagi, sesuai jadwal liburanku. Tapi kalau begini terus uangku sebentar lagi pasti akan habis, mencari tanpa tujuan. Pencarian ini tak ubahnya mencari unta di hutan Amazone. Nihil! Untuk itu kusiapkan tiga hari untuk memahami, meneliti, berbaur, dan meraup keterangan tentang profil kota bandung. Semuanya; Landmark, sejarah, bangunan, peristiwa penting, mall, hotel, budaya, tingkah laku, sampai kehidupan para pengemisnya.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah kawasan Braga. Karena tempat itu katanya sangat ramai pengunjung. Intuisiku mengatakan kalau kakak pernah kesana atau mungkin kerja di kawasan itu. tak ada pilihan selain menaklukkannya.

Kawasan ‘Braga City Walk’ dihiasi bangunan mewah begaya klasik-romantik,art deco, Indo-Eropa, dan ekletik berjajar di sepanjang tepi jalan. Seakan menandakan kawasan Braga amat berjaya di zaman kolonial Belanda. Pertokoan elit seperti; Showroom mobil Renault dan Chrysler, toko jam Rolex, Casio, Seiko, dan Omega, bioskop majestic, gedung societiet Concordia. Ada juga toko ragam roti, restoran mewah, galeri lukisan sampai butik. Sayangnya, kesemua SPG, satpam, juru parkir, pramusaji, dan pekerja didalamnya tak ada seorangpun yang mengenali atau minimal pernah melihat wajah kakak di foto.

Di pinggir jalan Braga kupandangi kawasan yang disebut “De meest Europeessche winkelstraat van indie[3]” itu. landskap kian memudar bersamaan pudarnya harapanku di maskot Bandung yang masyhur dengan istilah bahasa Belanda disebut do Braga[4](Bragaderen).

Punten ngaganggu bapak, kaleresan, abdi hoyong tumaros perkawis dimana Gedung Sate’[5]” sedikit kupelajari bahasa sunda agar memudahkanku meraih informasi.

Kaditu[6], kang,..angkot CICAHEUM–LEDENG..lewat supratman!” bapak itu menunjuk persimpangan.

Aduh punten janten ngarepotkeun, hatur nuhun..” ucapku terima kasih.

Selintas sebelum sampai di gedung sate kupikir kenapa dinamakan gedung sate, mungkin banyak jajanan sate di sepanjang jalannya. Atau dulu gedung itu pernah digunakan untuk memproduksi sate dengan skala besar. Kalau tidak, minimal ada foto sate, patung sate raksasa, yang penting berhubungan dengan sate-lah. Keinginanku mengadu pilihan kesana tentu dengan pertimbangan kakakku bekerja sebagai pramusaji sate. Padahal beberapa orang mengatakan tidak ada atribut sate disana. Tetapi aku tak percaya begitu saja sebelum mata ini langsung terjun ke lapangan. Dan kemungkinan kedua, firasatku mengatakan kakak pernah menyewa juru foto yang bersileweran di sekitar bangunan bersejarah itu.

Wah! Betul! Tak ada sebiji-pun tukang sate disini. Foto sate, patung sate, dan apapun yang berbau sate memang tak ada. Aku terpaku melihat bagunan apik dari dinasti Hindia Belanda itu. masih kental aroma tempo doeloe-nya.

Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional Indonesia dan teknik konstruksi Barat, sehingga disebut Indo Eropeesche ArchitectuurStijln. Jika yang melihat seniman Italia, Gedung Sate merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Italia dan Moor dari zaman Renaissance .

Ornamen berciri tradisional seperti pada candi Hindu terdapat dibagian bawah dinding gedung, sedangkan pada bagian tengahnya ditempatkan menara beratap tumpak seperti meru di Bali, sesuatu yang lazim pada gaya arsitektur Islam.
Setelah berkeliling ternyata keraguanku mengapa dinamakan gedung sate terjawab. Itu karena ornamen enam tiang dengan bulatan berbetuk mirip tusuk sate ditempatkan pada puncak atap tumpak. Dan ternyata kata seorang satpam biaya yang dikeruk untuk pembangunan Gouvernements Bedrijven, (nama awal Gedung Sate) sebesar 6.000.000 Gulden, mata uang belanda doeloe.

Kulihat sesama pengunjung mengapresiasikan kekagumannya dengan menyewa juru foto. Mereka bergaya narsis dengan background gedung yang sekarang telah dialih fungsikan menjadi kantor walikota Jawa Barat. Sedangkan aku. tak sedikitpun tertarik lagi dengan kemegahan maupun identitas Gedung sate yang mencapai taraf Internasional. Semuanya dilebur keputus-asaan. Ya..tak ada yang mengenali wajah kakak disana.

Aku berjalan gontai di pelataran Gasibu. Gadis-gadis ayu meliuk-liuk persis ikan lele ketika melakukan pergerakan senam di sepanjang pelataran. Aku terus berjalan sampai akhirnya aku menemukan bangunan berlambang burung Garuda. Monument tempat mengenang perjuangan rakyat Jawa Barat. Aku duduk di anak tangga monument sedangkan di sebelah kananku berkrumun mahasiswa-mahasiswi kasep[7] dan bening. Mereka duduk, tertawa, saling canda, berangkulan, menyeruput Soft Drink, dan menghisap rokok. Bisa kupastikan mereka adalah calon-calon pembangun bangsa ini dari sebuah universitas ternama di Indonesia, UNPAD. Di seberang sana universitas itu berdiri. Malam itu ntah pikiran apa yang merasuki –setelah begadang –aku tidur di sudut berkolong dari monument itu dengan teman-teman baru para joki Skateboard.

Esoknya kufokuskan untuk menjelajah mall di kota yang pernah diserang Inggris dan NICA[8],Belanda ini. Mulai dari: Bandung Indah Plaza yang kaki lima-nya dipenuhi aneka ragam hewan untuk dijual, Bandung Super Mall; Mall terbesar di Asia Tenggara, juga Plaza Dago, Planet Dago, Paris Van Java, Cihampelas Walk, terakhir Setrasari Mall. Hasilnya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Mataku sampai mengeluarkan tetes-tetes hangat saking beratnya perjalananku di kota orang demi menemukan sang kakak. Kulihat diriku sekarang tak ada bedanya dengan gembel; Kumal, rambut kering krontang, baju dekil ber-kelahak, hingga wajah hitam legam di bumbui abu dan asap knalpot. Di bawah terik matahari, dan dinaungi Gedung Merdeka yang dulunya tempat konfrensi Asia-Afrika, aku duduk menahan pedih di sekujur tubuh. Aku tak mungkin begini terus! Limbung kesana-kemari menyodorkan foto, bertanya apa ada yang mengenali.. .apa dengan Luas 16.767 hektare luas kota Bandung, serta 2.288.570 populasi manusia harus kutemui. Tidak! Itu tindakan bodoh! Aku semakin tidak yakin kalau kakak masih tinggal di Bandung. Banyak lapangan kerja di jawa. Ia bisa ke Sumedang sebagai pengrajin sepatu, Sukabumi sebagai juru masak, Bali sebagai pembuat baliho, atau mungkin ke Kalimantan dibawa penculik garong. Semua adalah kemungkinan-kemungkinan nyata bagiku.

Kulihat uangku menipis drastis, tinggal lima ratus ribu. Padahal baru sepuluh hari aku terperangkap di kota kembang ini. Aku berniat pulang. Kutelepon ibu di Medan. Ternyata ibu murka kepadaku. ia menangis sejadi-jadinya.

“Ibu rasa kau tak ikhlas mencari kakakmu, Fahmi!” ibu menjeratku.

“Tidak ibu, Fahmi ikhlas. Tapi ini semua sangat berat. Ibu tidak merasakannya,” ujarku pelan.

“Apa! Tidak merasakan! Jadi kau pikir ibu tak merasakan sakitnya kehilangan seorang anak! Ibu ikhlas mati jika ditukar dengan keselamatan kakakmu!” ibu murka kepadaku. kali pertama ibu mengeraskan suaranya kepadaku membuat pipiku basah kuyup. Terus..berulang-ulang hingga malam memakanku dengan gelapnya. Sekali lagi aku harus tidur di emperan toko Headcore Barbershop.

AllahuAkbar…AllahuAkbar!!

Aku tersentak mendengar suara mendayu menggema-gema. Pasti suara azan. Telah subuh rupanya. Aku bangkit bergegas menuju masjid. Namun, kudapati sesuatu ganjil di bagian belakang…dan… Astagfirullah! Sakuku sobek seperti bekas digunting…dan takdir buruk menyapaku. Kudapati dompetku telah raib...

Aku menyadari ada egoisme bersarang di hatiku. Selama ini aku mengandalkan kemampuan diri sendiri tanpa menyadari aku punya Tuhan. Kusadari aku tak pernah meminta petunjuknya, minim berdo’a, dan lebih yakin dengan segala bentuk materi. Lihat! Uangku raib. Siapa yang mau menolongku saat ini. Bagaimana aku pulang? Apa meminta kiriman dari ibu! Tidak! Disini, di masjid ini, aku bertekad tidak akan menyusahkan ibu. Aku akan mencari kakak dan aku akan mengusahakan uang sendiri untuk pulang. ini perjuanganku. Kupanjatkan do’a kepada sang tuhan agar aku diberi kekuatan untuk selalu tabah dan sabar. Aku teringat dengan satu ayat tentang makna sabar:

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji tuhanmu ketika bangun berdiri[9]

Kuhaturkan tasbih ketika aku beranjak meninggalkan masjid itu. sekarang hanya satu harapan terakhir yang akan kubuktikan kebenarannya. Menunggu ketetapan tuhan. Tuhan melihatku, mendengar do’aku, memahami kemelut hatiku. Tuhan pasti tahu dimana kakak. Ya, hanya dia yang tahu. Ini! Aku akan memberikan satu bentuk ‘sabar’ kepadamu. Sabar memohon darimu, sabar menunggu ketetapan untuk hamba yang hina ini. Ketika kuikat tali sepatu kembali pesan sebuah ayat yang pernah dikatakan ibu –setelah mendengar pengajian –tentang sabar yang baik;

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji tuhanmu pada waktu petang dan pagi[10]

Berkat sabar tuhan membenarkan janjinya. Dengan sabar mohonlah ampun kepadanya, pasti akan diampuni. Ibu juga menjelaskan bagaimana mengungkapkan rasa sabar:

“Sabar yang baik itu adalah sabar tanpa bosan, sabar tanpa gelisah, sabar tanpa sesak di dada, dan sabar tanpa kesal atas kesabaran itu sendiri. Sabar yang memadukan lisan dengan hati. Itu sabar yang suci.” Kata ibu.

Dengan itu kusimpulkan sabar itu adalah cahaya hati.

Alhamdulillah aku diterima sebagai kernet angkot. Aku memilih menjadi kernet angkot juga dengan pertimbangan, setidaknya kakak akan menaiki angkot ketika akan bepergian. Kuberharap aku akan menemukannya di jalan.

“Ciroyom! Cicaheum neng..kadieu..sokh! hareudang[11] neng…” begitulah seorang kernet menggoda para sewa.

“Cipaganti kang!”

“Tepat pisan neng, sokh naik, calik[12] keujung..kosong eta’...leumpang[13] pir!”

Berhari-hari aku terjun di jalanan. Tapi tetap belum kutemukan sosok kakak. Yang mirip-pun tidak ada. Namun aku tetap menjunjung kesabaran. Aku mulai berganti-ganti jurusan, dari angkot jurusan; ledeng-abd.Muis, Ciwastra-Cicaheum, Dago-Riung bandung, dll.

Aku bergumul dengan tantangan di jalanan. Berhadapan dengan kesulitan-kesulitan, menghirup racun yang berupa-rupa, dan melepuh dipanggang matahari. Aku bak backpacker yang kehabisan bekal. Terombang-ambing di lautan manusia tanpa nakhoda. Tapi, disini aku mendapat ekstra-empirik dalam menikmati liku-liku kehidupan. Aku seorang petualang kehidupan. Dicengkram angin, terguyur hujan, disepuh matahari, dan itu sungguh menggetarkan. Sedikit lagi…ya, sedikit lagi aku akan menaklukkan Bandung seperti 17 januari 1948 saat NICA menguasai Jawa Barat. Aku akan mengobrak-abrik Bandung dari toko kaki lima hingga Hotel berbintang lima, terus sampai ada, walaupun itu secuil informasi tentang kakakku. Kota ini merenggut orang yang paling kami sayangi, menenggelamkannya tanpa bekas, dan itu harus dipertanggungjawabkan.

Aku bertingkah kadang sebagi penyusup, detektif, atau wartawan. Aku bergaul dengan musuhku, –sebagai suporter PSMS –para supporter persib Bandung. Menonton pertandingan Garuda Flexi, melihat kemungkinan kakak yang menyukai Bola Basket. Aku selalu hadir di Radio Bandung, dari; AUTO RADIO 88.9 FM, Ardan 105.9, Hard Rock 87.7, Prambors 98.4, dan Female 96.4 FM. Ku-Request lagu-lagu kesukaan kakak, curhat, juga kirim salam kepadanya. Kuharap ia mendengar. Kutonton siaran televisi Bandung di warung-warung yang kusinggahi, seperti; Bandung TV, Padjadjaran TV, STV Bandung, dan tak ketinggalan TVRI Jawa Barat. Syukur jika kulihat kakak sebagai pembawa acara atau berita. Tak henti disitu, kubuat info kakak sebagai orang hilang, dan kukirim ke sejumlah surat kabar termasuk; Pikiran rakyat, Galamedia, Radar Bandung, termasuk Tribun Jabar.

Kucari kakak di pusat barang bekas di pasar Gede Bage, daerah Dalem Kaum. Ke Pasar Baru, dan mengitari Alun-Alun. Kususuri sungai Cikapundung dan Sungai Citarum beserta anak-anak sungainya...mungkin kakak sedang mencuci pakaian disana.

Di hari ke dua puluh lima, pagi itu. Saat kesejukan melecut semangatku masih sebagai kernet angkot. Angkot melaju santai. Sesekali aku berteriak, “Kang..neng, Antapani!” gadis-gadis ABG itu berjejer-jejer di tepi jalan. Sungguh berbeda dengan Medan. Disini lima dari sepuluh gadis yang berdiri, rautnya bening. Kalau di Medan, ah sudahlah! Dilarang mengghibah!

Aku berdiri di pintu angkot. Membiarkan angin membelai-belai rambutku. Ketika di persimpangan kulihat seorang perempuan sedang menunggu angkot. Ternyata ia tak menyetop angkot kami…saat melewatinya aku seperti pernah melihat wajahnya…dimana? aku mencoba mengingat di iringi laju angkot… Astaga! Ingatanku mencuat menampilkan satu sosok. Perempuan itu persis kak Ratih…teman kakak saat berangkat. Kontan aku loncat dan berlari menuju persimpangan tadi. Dari jarak lima puluh meter kupanggil dia, “Kak..kak Ratih!” ia melihatku. Dan, ia lari…kurang ajar! Kenapa ia lari. Sial! Aku tak bisa menyeberang jalan. Kupaksakan menyeberang walau mobil-mobil itu melaju kencang…hampir saja pengendara sepeda motor menghantamku dari samping. Untung rem-nya cakram. Sempat aku diguyur sumpah serapah, namun tak kuhiraukan. Aku terus mengejar si Ratih itu. orang yang mengajak kakak ke kota ini. Ia pikir ia bisa kabur dariku...jarak kami semakin dekat. Ia terlihat kecapean berlari dengan celana Jeans. Sampai akhirnya aku mendapatkannya…

“Hosh…hosh…ke..napa lari! Dimana kakak!” kubentak ia.

“Kupikir copet. Kakak mana?” jawabnya. Aku yakin ia berbohong.

“kakakku, Lia!” kataku setengah berteriak. Ia menundukkan wajahnya. Kurasakan ia menyimpan sesuatu yang tak boleh kuketahui, “Katakan kak, dimana kak Lia? Aku telah mencarinya hampir sebulan…dan kau tau, bagaimana menderitanya seorang ibu kehilangan anaknya! Apa kau tau!” kuangkat wajahnya..ia meneteskan air mata. Aku diam. Mataku memerah diiringi lelehan bening menyusuri pipiku. Tak bisa kubayangkan bagaimana keadaan kakak, menyaksikan kak Ratih meneteskan air matanya. Apa yang terjadi? Apa sesuatu yang buruk menimpa kakak? Lidahku kelu untuk berucap. Kupandangi sekeliling membuang kecewa…

“Ini..” ia menyodorkan sebuah kertas mirip kartu nama. “Cari kakakmu disana, dan pakai ini,” ujarnya lagi sembari memberikan cincin putih ber-logo dasi kupu-kupu.

“Apa betul kakak disini?” tanyaku. Ia mengangguk…kontan aku beranjak pergi.

“Hai..hati-hati…” sayup-sayup petuahnya mengait telingaku.

####

“Berbeque Salon & Panti Pijat” kubaca tulisan di papan reklame yang terletak di pinggir jalan. Papan itu menunjukkan kalau Ruko bertingkat itu adalah miliknya. Aku mulai tidak yakin keberadaan kakak disana. Apa si Ratih itu berbohong? Ah, apa salahnya mencoba. Kusiapkan mental baja untuk menerima segala kemungkinan. Kutarik nafas dalam-dalam lalu melangkah kesana.

Kudorong pintu kaca itu. Aku disambut kesejukan yang di hembuskan AC. Aku diam menyaksikan ruangan memanjang itu. Sebelah kanan beberapa pelanggan santai membaca majalah di Kursi Reflexyology , dan Barber Chair–rambut mereka ada yang di Creambath, Rebonding, cuci di wash bak plus Blow, pelurusan Makarizo, Smoothing Loreal, Bleaching, toning dan Maji Brown–dengan tenang. Aku mulai menyortir para pekerjanya. Oh, tidak! Rata-rata pekerja itu bukan perempuan sejati, hanya segelintir dan selebihnya ‘kaleng’. Oh..seseorang dari mereka menuju kearahku.

“Ada lekong.[14]Butuh perawatan plus-plus kang? Atau, kesindang pingin di kriuk-kriuk?” wajahnya lumayan cantik di antara yang lain. Tapi, aku mungkin tertipu kalau ia pasti kencing berdiri. Apalagi buah khuldi d lehernya memperkuat sebenarnya ia sejenis dengan Adam. Ia menatapku binal. Matanya jelalatan tak tentu arah.

“Lambreta[15] pisan euy…akika banyak planggan lho, kalo situ diem ajay, akika capcus nie…” hiy, si akika mencolek pipiku. Aku merinding.

“Ini mas..”

“Hey! Mas-mas, siapa itu mas? Dieu kagak ada mas-mas. Panggil akika, Laura. Inget! L-a-u-r-a.”

“Ini mbak Laura, saya ingin bertemu dengan yang bernama Lia…” ia mengerutkan dahi. Tangan kiri melintang di perut, sedangkan tangan kanan berdiri dengan jemari yang sengaja ia lentik-lentikkan.

“Ma-ap ya brondong perawan, dieu kosong yang namanya Lia…Tia, Nia, dan Pia, ada. Itu mereka, hay ladies!” buset! Kenapa yang melirik alien semua.

“Oke! No problem. Emh, pegal euy…pijat dulu ah!”

“E..ee, lihat jarinya dulu!” si akika yang lebih suka di panggil laura itu melihat jariku. Ia memandang cincin seakan memerhatikan keasliannya. Aku baru ngeh bahwa cincin itu ternyata sarat masuk pintu di ujung sana. Tempat yang kusinyalir keberadaan kakak. Aku di bawa berjalan menuju pintu itu. aku gugup. Bukan karena takut keringatku mengucur. Tapi, Lebih kepada apa yang di kerjakan kakak di balik pintu itu. Belum terbayangkan di otakku bagaimana olah kerja para ‘suster’ Panti Pijat.

Sekarang aku berada di balik pintu tadi. Yang kulihat disini adalah perempuan-perempuan asli. Para pelanggan tiduran di atas Facial Bed. Ntah apa yang dilakukan suster-suster itu di wajah mereka. Aku hanya melihat sekilas dari celah-celah kamar yang bersekat-sekat.

Aku terus dibawa menaiki tangga ke lantai dua. Sama, sebuah pintu menghalangi. Dan ketika dibuka aku menangkap pemandangan surga ada di dunia. “Astagfirullah!” ujarku pelan. Darahku berdesir. Lututku ngilu bukan main ditambah kepalaku seakan nanar.

Lihat! Tempat tidur sepinggang berjejer rapi kelang lima meter. Di atasnya bersemayam pria bertelungkup dengan hanya memakai celana pendek. Di samping mereka perempuan-perempuan oval dua puluh tahunan, memainkan jemarinya di punuk-punuk pria-pria itu. Sesekali perempuan itu mencelupkan empat jarinya ke dalam mangkuk, lalu kembali ber-atraksi. Wajah para pria merem-melek. Dan melihat kejadian ini, sepertinya hormon testosteron-ku memanas.

“Sekar! Dieu, ada Bronies euy…” mbak Laura yang menemaniku memanggil seseorang. Orang yang dipanggil langsung datang, padahal ia sedang melayani pelanggan.

Perempuan itu mendekati kami.

“Kak, kak Lia?” aku memastikan perempuan berponi itu kakakku. Ia memandangku lekat.

“Fa..Fahmi.”

####

Bagi mereka taman ini sangat indah. Bunga-bunga terhampar berkelok-kelok menyusuri jalan-jalan berbatu yang sengaja di buat untuk para penyakit rematik. Pohon-pohon yang rindang menghalau sengatnya matahari. Angin pun bersahabat menawarkan kesejukan alami. Tidak dengan hatiku saat ini. Hatiku membara melebihi gejolak matahari. Sekujur tubuhku panas melepuh. Jantungku berdentum-dentum ingin meledak. Dan air mataku tak henti bercucuran. Bagiku taman ini salah satu dari taman-taman neraka.

“Kenapa kakak lakukan ini, apa tidak ada pekerjaan yang lebih halal, hiks..hiks,” aku meminta penjelasan darinya. Ia memandang jauh..jauh..seketika buliran bening menjamah pipinya. Ia tersenyum.

“Satu tahun lalu. Awal dimana kakak menganggap dunia ini sangat kejam. Merasa hidup kakak tak punya masa depan. Akan dihina, dicemooh, dan diusir. Sebab sesuatu yang paling beharga dari seorang wanita telah di renggut, sebuah tanda kehormatan telah di nodai dengan senyuman…kau tau Fahmi apa maksud kakak?” ia memandangku dengan tersenyum walau air mata menggaris di dua pipinya. Berat rasanya untuk menjawab dengan lisanku, karena aku telah paham apa yang ia maksudkan. Aku berpaling menghindari tatapan kakak. Batinku gaduh. Ingin rasanya kuhunus pisau lalu kutancapkan di kepala orang yang telah tega membunuh masa depan kakak. Apa yang harus kukatakan pada ibu di hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia baginya. Anaknya telah hadir..tapi tidak lagi utuh sebagaimana sebelumnya. Kupaksa mataku memandang kakak, lalu aku mengangguk.

“Jika kau paham..sekarang pulanglah! Dan katakan pada ibu aku baik-baik saja…” ia menghapus air mata itu, “Hey, untuk apa kau kesini, jauh-jauh. Bukankah kakak mengirimi kalian uang setiap bulan, apa tidak sampai..” ia keheranan. Suasana wajahnya berubah drastis.

“Uang? Uang apa? Sudah setahun kau tidak memberi kabar, apalagi uang. Jangan becanda kak!” aku mengelap air mataku dengan ujung baju.

“Berarti si Ratih tak menyampaikannya…jujur, kakak memang tidak pernah memberi kabar, tapi kakak selalu memberikan uang kepada Ratih untuk dikirim kepada kalian, ternyata kakak salah menilainya..” sekarang aku paham kenapa si Ratih itu lari ketika melihatku.

“Ah sudah itu tak penting, sekarang mari kita pulang, kak,” aku mulai memaksanya.

“Tidak! Kakak tidak bisa pulang. Kakak belum siap menerima kenyataan. Setahun terlalu singkat untuk memendam kenangan pahit ini…” Ini lima ratus ribu, sekarang pulanglah!” ia memberiku uang kontan.

Ratna memberikan kami ongkos untuk pulang setelah ia menggelapkan uang kakak.



[1] silakan

[2] Betul…itu sekalian dengan si perempuan

[3] Pusat pertokoan bergaya Eropa terfavorit di Hindia

[4] Istilah: wajib kunjung jalan Braga

[5] Maaf mengganggu bapak, saya ingin menanyakan dimana gedung sate.

[6] disana

[7] cakep

[8] Nederlands Indie Civil Administration)

[9] (Q.S At-Thur{52}:48)

[10] (Q.S Al-mu’min{40}:55)

[11] kepanasan

[12] duduk

[13] jalan

[14] Bahasa banci:laki-laki

[15] lambat

Kumpulan Puisi

Di Majelis Ini

Di majelis ini
Setiap jumat malam
Budak-budak titipan Tuhan
Berdatangan bersama ceria
Yang mereka punya

Duduk manis di atas sejadah bisu
Dengarkan
Lafalkan
Dendangkan
Ayat ayat Tuhan
Yang diajar sang Guru

Malam merangkak Isya
Budak-budak tak semanis Maghrib tadi
Sang Ustadz pun bermuram durja
Lalu pergi membawa kecewa


Lubang di Wajah

Sumini tak lagi berhak menatap mentari
Hanya mampu dengar kicau burung
Tanpa pernah mampu lagi memandang lama
Kupu-kupu yang menari di kebun tetangga

Sudah sejak berpuluh tahun lalu
Menabung sakit yang membukit
Menanung perih di wajah yang bolong
Dimakan makhluk pembawa penyakit

Sebab kanker kulit
Melenyapkan mata
Sedang idung bersisa sedikit
Yang hanya ada lubang
Sebesar kepalan tangan Ade Rai
Di sebulatan mukanya


Air Mancur

Asyik bermandikan air mancur
Mana peduli hiruk pikuk hari senin
Mengitari bundarannya
Yang penting kutu di kepala
Gatal di badan
Pergi untuk kembali

Pengemis Puisi

Kau yang pernah mengemis puisi padaku
Sudahlah berhenti membujukku
Dengan tatapan mata elangmu itu
Memandang mata itu sering buatku rapuh
Biar kau tahu ramuan puisiku
Terlalu indah untuk kuberikan cuma-cuma


The Kite Runner

Berlari melomba angin
Bersama semangkuk besar semangat
Tak mau kalah dengan sejawat
Meski jempol kaki mencium batu
Sandal jepit putus tak kompromi dulu
Tertusuk duri yang menyisakan perih
Ku tak ambil peduli
Karena kawan
“Layang-layang putus di atas sana punyaku”


Musuh Penulis

Lembaran kertas kosong adalah musuh
Mata pena adalah senjata
Tentara itu aku sendiri

Terserah akulah
Untuk taklukkan wilayah
Yang antah berantah
Dan menang atas musuh itu


Halo!

Halo…halo…halo
Ah, suara seksimu itu
Masih tak berubah
Walau hanya berucap Halo…!
Serasa membelai gendang telingaku
Kembali memporakporandakan segenap hatiku

Sebab suaramu
Mengobati rinduku
Dan terkadang rindu
Cukup dipendam dalam hati saja


Gemerlapmu

Terlihat gemerlapmu si sudut malam
Lupakah kau pada rumah kasih sayang kita
Ada riak-riak bahagia antara kau dan aku di sana
Aku tahu tak mudah membersihkan dosa berjelaga itu
Bahkan buih buih di lautan pun tobat tuk menghilangkannya
Seperti sudah tak sabar bercumbu dengan malaikat maut dan kawan-kawan
Memakai baju compang-camping
Sambil menelusuri bibir pantai neraka
Bulir-bulir kristal air mata setetes pun tak berarti
Hanya menunggu peri bahagia
Memutar tongkat ajaibnya padamu
Maka sucilah


Kisruh DPT

Kau anggap apa kami ini
Rakyat jelata tak tahu apa-apa
Yang hanya bisa bertanya mengapa
Jelang pesta demokrasi
Barulah kau tampak kami
Tepat diujung bola mata hitammu

Kini demi yang terbudak oleh nafsu
Kau relakan apa saja
Memastikan hak suara kami
Ya!cuma hak suara
Sedang para hak lain menunggu
Yang tak pasti

Dan parade penderitaan pun
Dilanjutkan seperti biasa


Pengemis Puisi

Kau yang pernah mengemis puisi padaku
Sudahlah berhenti membujukku
Dengan tatapan mata elangmu itu
Memandang mata itu sering buatku rapuh
Biar kau tahu ramuan puisiku
Terlalu indah untuk kuberikan cuma-cuma


Angin

Mari merunduk sejajar dengan angin
Lampaui batas lazim
Tinggalkan segala keangkuhan
Yang menyelinap di jiwa

Mari berselancar di tubuh angin
Jangan tergesa-gesa
Santai saja
Angin tak kan meninggalkanmu
Ia menuntunmu menuju yang baik


Kuas

Tersudut di kamar gelap berdebu
Kubiarkan kuasku di sana
Sebelum bersapa dengan mereka
Ku tak lupa berkuas diri dulu

Tanpa kuasku
Takut mereka tahu asliku
Dan pintaku
Kumohon jangan ambil kuasku


Agrin:Turtles Can Fly

Bermuram durja di mulut jurang yang menganga
Semua harapan tlah terlepas dari pelukan
Sejak lima tentara bejat
Renggut paksa kehormatan ini
Yang berbuah bayi lelaki buta tak berguna
Ku benci ia dan mereka sampai malaikat maut menjemput raga

Dan hari ini
Pada sebuah danau berpenghuni
Ku titipkan ia pada kura-kura
Yang terbang melayang di danau
Tenggelam pelan di dasarnya
Aku pun turut mengikutinya ke jalan surga yang menanti
Terjun pasti di jurang
Tempat biasa aku duduk termenung di sisinya
Semoga kami damai disana
Tak ada lagi perang
Yang hanya menyisakan luka


Semusim

Tanpa kau dedaunan di musim ini
Melambai jatuh ke bumi tak berirama
Tanpa kau rerumputan
Menari malas bersama angin dingin
Sedingin dirimu

Memang ku hanya seorang wanita
Merapuh di saat senja
Bersemangat di saat fajar
Maukah kau selalu ada disaat pagi menyapa?
Agar disetiap musim kisah kita terkenang selalu

Batas Lelah

Saat menutup mata mau beranjak ke alam mimpi
Terasa lah semua lelah
Sisa-sisa perjalanan menapaki hari

Di batas lelah ku termenung
Adakah lelah ini jadi berkah
Untukku, dia, mereka dan semua orang
Atau hanya kesia-siaan semata

Tak tahu lah aku
Yang kutahu di batas lelah ini
Ku masih harus mencari makna ikhlas
Di selipan lembaran kitab yang terbaca



Keluarga Abstrak

Kebersamaan tak ada lagi
Kasih sayang kini terbang
Terbawa angin kesibukan 24 jam

Kurcaci-kurcaci kecil tidur
Dalam dongene tidurnya sendiri
Tanpa kecupan hangat dikening pun yang tertinggal

Keluarganya seakan abstrak dimata jernihnya
Ada tapi tak dapat digapai
Hanya kepulan asap hitam
Menyingkap kehampaan tangan mungilnya.

Jubah Sang Malam

Hitam
Pekat
Membentang tak terbatas
Bermanikkan bintang dan purnama
Benar-benar hasil rancangan sempurna
Sang Maha Indah


Pada Sepenggal Masa Lalu Ayah

Tidakkah aku berhak tahu
Cukup ayah dan mereka berkaku lidah
Bangkai saja akan menguap baunya
Jika tak rapat menyimpannya
Sampai pada akhirnya
Aku harus tahu
Lalu bolehkah aku tahu siapa
Dia yang serupa wajah dengan aku.


Secangkir Puisi Hangat

Pagi menyanggupi diri
Tamniku nikmati secangkir puisi hangat
Menghirup aromanya
Menyeruput sedikit demi sedikit maknanya
Mengalir apa adanya
Merasuk sampai di ujung kalbu yang beku
Karena malam tadi begitu dingin


Laskar Pemburu Layang-Layang

Berlari melomba angin
Kalahkan calon jawara lainnya
Meski sandal jepit putus kaki tersandung batu
Tertusuk duri
Tak peduli

Mata yang menatap langit
Silap sedikit hilang arah
Kemana posisi Yang Putus Yang Tak Bertuan itu
Akan jatuh

Berkilo-kilo meter sudah
Peluh bercucuran basahi wajah dan baju
Sang Primadona terus mengayun melambai anggun di angkasa
Sampai di sini sang juara masih belum ada

Terus dan terus mengejar
Hingga akhirnya
Pemuda yang sedari tadi
Berlari dengan batang bambunya
Hentikan kompetisi

Layang-layang pun berpindah
Menggantung sempurna di punggungnya
Ia pun berjalan dengan gagah
Bak serdadu menang perang

Bukan Gerimis Terakhir
Lamat-lamat kutatap gerimis
bak sekumpulan jarum yang jatuh satu-satu
menusuk bumi
ku kecap kembali kenangan manis
dalam gerimis aku melamarmu
kau begitu anggun
dalam balutan jilbab dan gamis

Lagi, untuk sekian kali
selalu di jendela renta ini
tempat sehari-hari aku bermimpi
menunggu gerimis
berharap kau ada di sisi
sayang, kau tak mungkin kembali

Asing
Bau anyir menggedor-gedor saraf penciumanku
Masuk tanpa permisi
Ke segala penjuru
Aku lemah tek berdaya
Lelah berpayah-payah


Gempar
Sejak lahir ia sudah
Mengantongi banyak ketidaktahuan
kenapa ia dilahirkan
Kemana ibu dibawa sang dunia
lalu ayah yang diajak malaikat maut
untuk tak pernah kembali

Gempar, Cuma itu yang ia tahu
Nama yang tersemat
Erat
Rekat
Di jidat

Ada kegemparan
Iringi sajak-sajak kelahirannya
Dari hubungan tak sah orangtuanya
Kini ia hanya sendiri

Perempuan Senja
Kutemukan ia
di deretan rak-rak buku berdebu
di perpustakaan

sosoknya memang senja
namun hatinya penuh pendar-pendar mentari
matanya berbinar-binar
kunang-kunang ilmu bersarang di sana

selalu menenteng tas
berpenghuni lembaran-lembaran bermakna
untuk dibagikan padamu
agar kau tahu

perpustakaan rumah belajar modern
bagi masyarakat
visi misi itu yang diusung
tak akan berhenti
hingga umur dipasung waktu
walau berjuang seorang
demi mimpi peradaban ilmu

Oleh Nurul Fauziah Mahasiswi IAIN-SU

Huh…ku biarkan kau memilih sendiri karena kau punya hati dan perasaan,,,

Huh…ku biarkan kau memilih sendiri karena kau punya hati dan perasaan,,,

Dia yang lain mulai merasakan kehadiran mu…

Tidak tau itu namanya apa

Tapi aku disini masih mengharap mu

Sedang dia yang lain bercerita kepada ku

Aku suka menutupi hati dan perasaan ku

Aku tak mau egois

Tapi aku sakit dan takut kehilangan mu

Dia begitu berbunga,

dan…

kau bagaimana? Siapa yang tau…

Yang jelas dia yang lain merasa apa yang kurasa…

Aku hanya mendapat beberapa lampu redup-redup dari mu yang tak pernah jelas…

Tapi sebenarnya aku juga tidak jelas dimata mu

Sudah kukatakan sebelumnya…

Aku terlalu pemalu dan suka mengelak

Ntah kenapa…aku tidak mau terlihat jelas….

Maafkan tapi inilah aku…

Kamu bisa memaklumi__ itu lebih baik…

Balutlah kepercayaan dalam batin mu bahwa aku masih seperti dahulu…

Dahulu sejak pertama melihat dan kagum

Di sudut lain

Dia begitu berharap…sampai dia bingung untuk memendam…

Aku yang sahabatnya harus mendengarkan…..

Dia seperti menebak mu

Begitu juga dia menebak ku…

Aku tahu dia akan kamu

Tapi aku tak tau kamu akan dia

Aku harap untuk ku

Untuk ku

Untuk ku dalam hatiku

Tapi….

Terserah kamu

Kamu saja yang memilih

Aku terlahir untuk sabar..

Dan percaya ALLAH beri yang terbaik

Aku tak pernah terlalu menuntut…

Aku punya pengalaman karena aku yang seperti ini…

Diriku ditinggal karena sifat ku yang tak jelas,..

Beginilah aku…aku yang tak pernah jelas dari luar….

Tapi lihat dengan hati…

Hati yang selalu segar untukmu….

Apakah ada yang tau bagaimana aku?

Inilah aku…masalah c||\|+4 adalah hal sulit yang pernah ada

c||\|+4

Untuk pertama kali aku ingin berbicara c||\|+4

Bukan untuk siapa-siapa

Hanya saja takut kehilangan c||\|+4

c||\|+4 ku tak pernah mau disamakan dengan prinsip anak zaman sekarang

c||\|+4 ku adalah suci

Suci untuk satu

c||\|+4 ku juga tidak akan ter buang sia-sia

Tak mau cepat mengumbar dan hilang seketika

Aku punya prinsip yang k u jaga persis

Tapi masihkah aku diam ketika yang lain bertindak

Tiba-tiba ego ku tumbuh

Seolah ku tak mau kalah

Dan memendam sia-sia

Aaaaarrrrrrrrrrrggggggghhhhhhhhhhh

Ntah lah sepertinya aku tak bisa menuliskan rasa ini….

Aku bingung…

untuk menuliskan perasaan saja aku malu….

Apalagi…:-P

FAKTANYA

Aku seorang pembohong…

Bohong ku keterlaluan…

Aku pembohong besar…

Sampai-sampai aku sendiri berbohong pada diriku…

Berbohong pada perasaanku sendiri

berbohong sebohong-bohongnya…

aku heran aku bisa menutup ini dari mu, dia, mereka,

bahkan tulisan yang selama ini menjadi teman curhatku

aku tidak menulis catatan harian dengan mengukir namamu…

aku juga tidak menulis catatan harian dengan kata-kata erotis tentang mu…

aku malu sekalipun dalam catatan harianku yang tak seorang pun tahu

aku malu dan senang berbohong

tapi saat yang lain bergerak..aku merasa sakit, tertekan dan tak bisa bertindak

sampai-sampai aku ingin mengubah prinsip..

Dan kamu tau?

dalam bait lagu pun tak pernah ku lantunkan untukmu…

hanya bahasa asing yang bisa menutup rapat…

seolah tak banyak yang mengerti

bagaimana memberi tanda ini…

aku benar-benar tak mendapat formulanya

aku uring-uringan sendiri

aku ingin jujur

tapi aku suka bertindak seperti anak-anak yang tak butuh itu…

tak butuh kamu…tak butuh itu,,,itu,,,itu dan kamu,,,

bahkan aku tak sanggup mengetik ejaannya,,,

aku canggung dan tak bisa mengungkapkannya,,,

aku tak mau terlambat

tapi siapa yang akan pertama…

aku seolah alergi dengan kata-kata itu….

Aku takut mengukirnya…

Mengukir di monitor ini takut dan benar-benar takut….

Tapi …….

C||\|+4 à kata tersulit yang pernah ada

(Lolo)

Antara Rumah MU dengan Lembaran Rupiah milik nya

Masjid kecil berkubah kuning, berdiri kokoh seakan menantang gedung-gedung di sekitarnya yang bediri megah menjulang tinggi mencakar langit. Padang ilalang sekitarnya menjadi saksi bisu tetap tegarnya ia meghadapi segala persoalan yang ada. Kini, dilema yang dihadapi rumah Allah itu adalah sebuah fakta yang terjadi di tengah masyarakat modern yang perlahan kehilangan keimanan didalam dirinya terhadap adanya Tuhan. Fakta itu menjadi nyata, bagaiman tidak?, kita mungkin masih ingat kisah-kisah yang terjadi dalam tayangan sineteron Rahasia Illahi, dimana sebuah masjid tega digusur dan di jadikan Mall, demi kepentingan materi segelintir orang. Penilaian kita mungkin, betapa teganya orang-orang tersebut yang menggadaikan rumah Allah dengan beberapa lembaran uang untuk menjadikannya gedung tinggi pencakar langit, pusat perbelanjaan orang kaya yang kemudian mengantikan masjid tersebut menjadi musollah kecil tersudutkan di daerah parkiran.

Inilah kenyataan yang terjadi di sekitar kita sekarang, cerita ini bukan saja terjadi di dalam sinetron namun ini realita dalam kehidupan kita. Mungkin hampir seluruh mahasiswa sekitar jalan Willem Iskandar tahu keberadaan masjid ini, masjid Nurul Hidayah berkubah kuning di tengah ilalang diantara ruko-ruko bergaya arsitertur Turki komplek MMTC. Sepintas mata kita mungkin sering mengarahkan pandangan kepadanya ketika melintas. Namun pernahkah terpikir di benak kita untuk singgah sebentar mendirikan shalat kemudian mencari tahu jauh latar belakangnya. Rasa penasaran yang begitu besar membawa Dinamika menyempatkan diri mencari lebih dalam tentang masjid yang berdiri sendiri di tengah ilalang ini.

Masjid inilah yang menjadi korban layaknya seperti dalam sinetron yang dijelaskan diatas. Masjid ini hingga sekarang dalam sengketa oleh pihak MMTC yang ingin membongkarnya menjadikannya ruko-ruko. Fenomena yang menggugah nurani kita semua. Demi kepentingan sekelompok orang yang mengharapkan materi mereka kehilangan akal dan keimanan. Betapa tidak, padahal masjid itu nantinya tanpa harus dibongkar dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar, misalnya warga muslim yang tinggal di ruko MMTC dan terkhusus mahasiswa yang kos disekitarnya. Namum pengusaha bermata sipit pengelola MMTC sangat berambisius untuk membongkar masjid ini dengan alasan memindahkanya dan mengganti rugi dengan harga lebih dari 300 Juta. Berbagai hal telah mereka lakukan dengan cara mencoba memutus aliran listriknya kemudian interpensi dan rayuan dari debt collector MMTC kepada BKM Nurul Hidayah. Namun dengan keteguhan yang semata-mata karena Allah pihak BKM tetap mempertahankanya, bersama para mahasiswa sekitar mereka siap untuk memperjuangkan masjid ini. Sebgaiman keterang yang dikutip dari Sofyan salah seorang mahasiswa penjaga masjid kalau mereka siap untuk mempertahankan masjid, dengan alasan ini adalah rumah Allah, dan juga letak masjid yang strategis buat para orang yang hendak shalat, terlebih jika gedung serba guna telah selesai tidak menutup kemungkinan kalau juga masjid memiliki fungsi strategis bagi yang hendak melaksannakan ibadah. Masjid juga sering dipenuhi jamaah setiap shalat lima waktu. Hal serupa juga di tambahkan Hakim salah seorang mahasiswa sekitar, kalau peranan masjid sangat memiliki guna yang besar. Ia juga menambahkan diharapka mahasiswa juga sekitar dapat ikut membantu mereka dalam mempertahankan masjid dengan cara meramaikan masjid setiap jum’atnya. Minimal 2 kali seminggu menyempatkan waktu shalat disana.

Dukungan juga tidak hanya dari kalangan warga sekitar namun juga dukungan dari Forum Umat Islam (FUI) Sumatera Utara, FPI kota Medan, MPI kota Medan juga dari berbagai elemen ormas lainya. Semangat mempertahankan rumah Allah ini diharapkan juga datang dari kalangan mahasiswa islam sekitar jalan Williem Iskandar. Terkhusus dukungan dari pihak mahasiswa IAIN SU yang diharapkan menjadi pelopor utama pembelaan. (Syahri)

Rabu, 23 Juni 2010

Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di LPM Teropong UMSU Medan

Tiga kru Dinamika menjadi Delegasi dalam Pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh LPM Teropong Umsu Pimum Nirwan Sukartara dan Rabiatul Adawiyah yang bertindak sebagai ketua panitia. Kegiatan berlangsung selama seminggu. Terdapat beberapa materi yang diberikan kepada para peserta pelatihan jurnalistik ALMAMATER (Ajang Pelatihan Pers Mahasiswa Nasional Teropong) menghadirkan pemateri dari praktisi pers lokal dan nasional. Seperti Iwan Piliang (Tim verifikasi pembunuhan David di Singapura dan Kasus Prita), Chalid Nasution (Photografer Agency Foto Zuma Press), Djaka Susila (Pimpinan redaksi harian Seputar Indonesia), Rika Yoez (Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen) dan Ribut Priadi S.Sos (Redaktur Kantor Berita Antara Sumut) . Kegiatan ini merupakan kegiatan yang kedua kalinya diadakan TEROPONG, yang sebelumnya pernah diadakan pada tahun 2006 lalu.

Mereka membawakan materi-materi citizen journalism (jurnalisme warga) yaitu menjadikan masyarakat sebagai objek sekaligus sebagai subjek dari sebuah pemberitaan. Materi ini mengandung tentang bagaimana berita-berita dari citizen journalism dan penulisannya, fotografi dalam konsep citizen journalism, serta pengenalan citizen journalism yang ada pada berbagai media baik itu cetak, audio, visual, maupun online.

Pembukaannya, dilaksanakan di Jalan Kapten Muchtar Basri No 3, di Aula UMSU Sedangkan pelatihannya dilaksanakan pada tanggal 31 Mei sampai dengan 5 Juni 2010 di wisma Dinas Pertanian yang berada di Jalan A. H. Nasution Medan.

Berkisar sekitar 25 peserta mendaftar dari 19 Pers Mahasiswa se-Indonesia. Peserta tersebut berasal dari Lampung, Makasar, Salatiga, Jakarta, Riau, Padang, Aceh, Palembang, Solo dan juga Medan. Ketua Panitia Rabiatul Hadawiyah mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan demi meningkatkan skill pers mahasiswa tentang jurnalistik dari semua aspek dengan mengusung tema “Speak up Citizen Journalism” berharap persma dapat mengenal, memahami dan membedakan citizen journalism dengan media mainstream tersebut. Tak hanya itu, kegiatan ini juga diharapkan dapat mendorong peserta untuk berpikir secara metodis dan efisien serta sebagai wadah untuk menjalin dan mempererar tali silaturahmi.

Acara yang bertemakan Speak up Citizen Journalism ini berjalan lancar dan sukses. Panitia yang begitu kompak dan solid membuat peserta menjadi terharu ketika acara perpisahan tiba. Terbukti, Uli peserta dari LPM Ukhuwah sempat menitiskan air mata atas pelayanan dan sambutan yang diberikan oleh panitia. Respon dari peserta juga sangat baik terhadap hal ini.
Pada hari terakhir, Minggu 6 Juni 2010, Teropong mengajak seluruh peserta untuk Field Trip ke Danau Toba guna menunjukan salah satu daerah pariwisata yang cukup terkenal itu, kemudian menyempatkan waktu untuk singgah di kebun binatang siantar milik Rahmad Shah sekaligus sebagai tanda perpisahan bahwasanya kegiatan tersebut telah usai.(Indah Skd)