“Satu juta dua ratus ribu…mungkin bisa,”
“Kamu yakin?”
“Insya-Allah!”
“Semoga Allah melindungimu, nak.”
Akhirnya aku mendapatkan uang yang cukup. Sudah dua bulan lebih mengumpulkannya. Bersusah payah plus berpeluh keringat. Hari ini aku puas.
Tiga bulan lalu. Saat senja menghantam rumah kami. di ruang tamu itu aku duduk menonton televisi. Sekoyong-konyong ibuku datang dan langsung duduk disampingku. Sejenak ia ikut hanyut dalam raungan gadis di dalam tv. Kemudian ia menyentuh pundakku.
“Mi..ibu belakangan ini sering mimpi aneh, tentang kakakmu..ibu takut.” Wajah ibu bekerut. Matanya sayu memandangku.
“Mimpi apa bu..jangan terlalu dipikirkan, kakak pasti baik-baik saja.” Kutenangkan hati ibuku. Namun, aku sendiri khawatir dengan kakak. Telah genap setahun ia tak mengirimi kami uang. Padahal sebelumnya ia rutin mengirimi kami setiap bulannya. Bukan, bukan karena ia tak mengirimi kami uang sehingga kami khawatir. Justru kami khawatir tentang keadaanya disana. Di kota orang; mengadu nasib, berpindah tempat kerja, nge-kost, dan hidup mandiri.
Setelah lepas dari perkuliahan di semester lima, kakak memberanikan diri mengikuti empat temannya berangkat ke Cibaduyut, jawa Barat. Yang pasti Ratna, teman kakak mengatakan kalau mereka akan bekerja di toko sepatu. Ibu yang awalnya enggan memberi izin, akhirnya luluh menyaksikan kakak merengek-rengek layaknya bayi minta diberi ASI. Kalau aku setuju saja, karena aku yakin kakak bisa menjaga dirinya. Ia telah terbiasa hidup mandiri. Itu berkat didikan ibu yang ekstra keras setelah ayah wafat di usia kakak belia. Aku sendiri kenal ayah hanya melalui foto hitam-putih-nya. Ia adalah seorang pedagang antar kota. Mungkin sifat ayah yang sering hilir-mudik ke kota orang menjadi dasar keinginan kakak untuk pergi.
Hari demi hari berhembus. Waktu ke waktu silih berganti. Secuil khabar tentang kakak tak kami dapat. Aku sendiri kelelahan setelah seminggu mencari informasi tentang keberadaan kakak melalui keluarga teman-temannya, namun hasilnya, nol. Ibu tak lagi bertoleransi. Ia murka. Ia menugasiku untuk menjemput kakak ke Jawa Barat. Aku shock. Menjemput kakak ke kota yang begitu besar tanpa tahu keberadaannya, itu sama saja seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Apalagi seorang saudara-pun kami tak punya disana. Aku pesimis.
“Jadi, ibu harus bagaimana! Membiarkan kakakmu hilang…itu yang kau mau, adik seperti apa kau ini?”
Ibu habis-habisan memarahiku. Sampai-sampai ia berlinang air mata. Tak tega kusaksikan ibu seperti itu. ini bukan adegan sinetron. Ini nyata! Dan kakakmu memang telah hilang! Sadarkah kau Fahmi! Hatiku membentakku. Mungkin hatiku juga kecewa dengan sikapku.
Alhamdulillah aku dapat job. Bang Adi menawariku kerja bersamanya. Kerjanya simple. Mengantar pesanan susu kedelai ke setiap rumah yang menjadi pelanggan tetap. Capeknya…banget! Karena rumah yang pelanggan yang berjauhan satu sama lain. Satu di utara, ada di selatan, tenggara, sampai ke timur laut sana. Naik sepeda pula, badan rasanya remuk.
Di awal aku menerima tawaran bang adi, telah kurencanakan dua bulan kedepan, sewaktu liburan semester –selama sebulan –aku akan berangkat ke Jawa Barat. Akan kutemukan kakak, dan kubawa ke hadapan ibu.
Hari ini. Dua bulan setelah aku menerima tawaran bang Adi bulu. Saat uang yang kukumpulkan selama dua bulan mencapai tujuh ratus rupiah, ibu datang membawa uang simpanannya lima ratus ribu rupiah. Ia percayakan padaku uang itu. uang yang sengaja ia kumpul dari menjual gorengan.
####
Aku pamit. Memohon do’a restu dari ibu. Tak kusangka liburan kali ini aku akan menjelajah jawa barat. Kupasrahkan perjalananku kali ini pada yang diatas. Aku hanya mampu berusaha. Kulayangkan langkahku menuju pelabuhan belawan. kuselipkan selembar kertas yang menjadi pedomanku untuk sampai ke tempat terakhir kakak menetap.
“Klas ekonomi non-seat, silakan menempati areal lantai di sekitar dek,” kata seorang lelaki yang memakai baju seragam.
“Apa? Tidur di lantai?” aku baru menyadari kalau tak ada kasur untuk tubuhku melepas penat. Disini aku baru menyadari arti seat dan non seat. Kulihat manusia berjubel-jubel di kapal ini. Untuk yang non seat, Mereka berlari-lari dari satu dek ke dek lain untuk mendapatkan areal yang strategis. Dengan cepat seluruh areal lantai penuh. Baik di dalam dek bahkan sampai keluar, di teras. Sedangkan aku masih terbengong. Tak tau aku harus kemana mengahamparkan matras ini. Berkeliling-keliling dari dek satu ke dek berikutnya tak jua ketemu tempat kosong untuk tidur. Sampai akhirnya aku melihat mushalla di luar dek atas. Kurehatkan tubuhku sementara disana. Kulihat ada kertas menempel, “Dilarang tidur di mushalla ini,” terpaksa kusandarkan tubuhku ke dinding. Aku tidur bersila.
Menjelang sore kusempatkan lagi berkeliling untuk melihat fasilitas yang sediakan KM. KELUD. Ya, fasilitas hiburan seperti karaoke, playStation, game arcade, dan bioskop ada disini.
Kudengar dari teman lama perjalanan mencapai dua hari dua malam dengan Rute: Belawan-Tanjung Balai Karimun-Batam-Tanjung priok. Selama dua hari itu aku makan dengan menu ala awak-nya; sekepal nasi putih pucat, seekor ikan penyakitan yang lebih rame duri daripada daging, dan sawi laut yang tersangkut di baling-baling kapal. Inilah makanan penumpang tanpa kasur ala awak kapal Kelud yang seratus persen pria. Kalau sedang beruntung, ikan tersebut kadang diganti dengan telur ayam yang direbus dengan air laut, atau telur dadar berbentuk pipih persis triplek. Dengan alternatif tambahan berupa ikan teri-kacang dan bawang goreng yang disiapkan ibu, aku berusaha menikmati makanan minim protein itu dengan rasa syukur. Ya, aku sangat bersyukur tidak ada rambut koki kapal atau irisan kuku yang sangat mungkin tercampur dengan makanan tersebut.
Aku sempat melihat adegan menyeramkan. Saat menaikkan dan menurunkan penumpang di Tanjung Balai Karimun. Kapal tidak bisa merapat karena keadaan pelabuhan dangkal, sehingga proses akses naik-turun melalui kapal harus menggunakan sejenis perahu kecil atau sekoci ke tengah laut baru kemudian naik ke kapal, itu jam delapan malam! Semua penumpang berebutan naik kapal melalui tangga kecil yang ditingkahi ombak dan bergoyang-goyang dengan resiko terjerembab ke laut. Keselamatan penumpang agaknya urusan nomer keseratus, yang penting kapal terisi banyak penumpang agar mendongkrak untung Pelni. Walau bagaimanapun, Indonesia sebagai negara kepulauan tidak bisa lepas dari Pelni. Masih banyak pulau yang tidak terjamah rute pesawat, dan kalaupun ada, harga tiket serupa harga satu hape berkamera. Masyarakat tentunya masih membutuhkan Pelni sebagai operator jasa pelayaran penumpang terbesar di Indonesia.
“Ini sekupang batam,” kata seorang teman kepadaku. Aku melongok melihat pelabuhan kecil itu. tak seperti yang kubayangkan.
“Kita bisa turun disini, kita teransit sekitar tiga jam, kamu mau?” aku menggeleng. Mataku lekat menatapi ratusan penumpang naik-turun dari dua tangga. Satu tangga akses masuk, satunya lagi akses keluar.
“B-a-t-a-m, Bila Anda Tiba Anda Menyesal…Bila Anda Tabah Anda Menang..” kata temanku itu lagi. Ia tertawa. Aku bingung. Apa betul menyesal menetap di pulau yang didentikkan dengan halaman belakang singapura ini. Lebih dari 500 perusahaan asing telah menanamkan investasinya, yang itu artinya terbuka-lah banyak lapangan kerja. Hem, menyesal mungkin dikaitkan dengan orang malas, pikirku.
####
Akhirnya sore itu kapal merapat ke pelabuhan Tanjung Priuk. Aku belum merasakan aroma Jakarta, sampai aku meninggalkan pelabuhan baru kutemukan duplikat terminal Amplas Medan. Sepertinya disini semuanya orang batak. Suara keras melengking, wajah petak hitam penuh kerutan, semangat membara, dan bau keringat serupa kaus kaki, semua berbaur disini.
Kutenteng ranselku mendekati bus-bus yang berjejer. Kusorot kaca-kaca bus itu, apakah ada yang jurusan cibaduyut. Mungkin karena baru pertama kali melangkahkan kaki di Jakarta, sikap tubuhku terbaca oleh kernet-kernet bus itu. beberapa orang mengahampiriku. Menanyakan tempat yang kutuju. Aku diam. Lebih baik aku menanyakannya dulu kepada petugas DisHub yang kulihat lalu-lalang.
“Pak, numpang Tanya..ke Cibaduyut naik bus apa ya?”
“Oh..itu, bus yang warna biru metalik…nanti turun di terminal leuwi panjang, di kota Bandung..dari situ banyak yang ke cibaduyut..”
Sekitar tiga jam-an waktu tempuh menuju kota Bandung. Aku semakin dekat. Tak bisa kukatupkan mataku. Bayangan kakak singgah-singgah ketika kulihat jalan-jalan, toko, air mancur, papan reklame, dan kernet bus. Halusisnasi itu dari bentuk rasa rinduku yang mendalam. Sekilas bayangan ibu datang. Wajahnya sayu di kelambui harapan semu. Akankah aku berhasil menemukan kakak? Atau aku hanya akan menambah penderitaan ibu saja?
Aku sampai di terminal leuwi panjang pukul Sembilan malam. Leuwi panjang juga gak beda dengan terminal Pinang Baris; buruk, bau pesing, dan cairan ludah tersebar menghiasi jalanan, sampah dan plastik berterbangan menghiasi langit malam, sungguh mungkin ini namanya seni keindahan terminal dikala malam menjamah. Tampil apa adanya. Kehidupan terminal juga tak kalah eksotis, sangat ramai warnanya, penumpang, supir, kenek, petugas DISHUB, pedagang, asongan, pengemis, dll, melebur di tempat ini. Walaupun lagit telah gelap, semangat mereka tak pernah terlelap…aku mengambil sekeping pelajaran kehidupan dari sana. Kehidupan jalanan... keras, tragis, kegilaan, kebahagian, kesenangan, bercampur aduk di tempat ini dan member prisma kehidupan.
Kusinggahi masjid untuk melakukan salat jama’ takhir, sekaligus mengatur rencana selanjutnya. Sempat kutelepon ibu, mengabarkan aku telah sampai dengan selamat. Ibu bertasbih, bertahmid, dan bertakbir.
Malam itu kuputuskan menginap di masjid setelah mendapat izin dari marbut dan nazir. Besoknya aku akan melakukan sweeping di sekitar pusat perbelanjaan sepatu cibaduyut yang terkenal pasar penjualan sepatu terpanjang di dunia. Aku harus menemukanmu kakak! Tapi perutku sekarang kriuk-kriuk, makan dulu ah! Kutelusuri pinggiran jalan yang dipenuhi pedagang-pedagang kaki lima. Rata-rata menjual makanan. Menunya lumayan bervariasi, sampai aku bingung ingin mencoba apa, dari; Nasi Rames, Batagor, Karedok, Kupat Tahu Petis Alkateri, bahkan cemilan dengan nama seram: otak-otak. Ya..philihanku ternyata jatuh pada nasi goreng. “Mangga[1] kang,” kata perempuan muda sambil meletakkan nasi goreng pesananku. “Gak neng, saya gak pesan mangga..” jawabku. Perempuan muda sebaya anak SMA itu malah tersenyum seraya pergi.
####
Pagi itu. aku langsung berangkat ke cibaduyut menaiki angkot jurusan cibaduyut-Karangsetra. Berbekal foto kakak, hanya itu. Supir menurunkanku di sebuah simpang dimana disana bertengger patung sepatu ukuran raksasa, “Dieu kang! Mangga.” Supir itu menatapku ke belakang, “Di sini?” jelasku. “Leres...eta sakantenan si neng[2]” tunjuk supir itu dengan jempolnya ke seorang perempuan, suaranya sangat lembut. Dapat kubedakan bagaimana dengan supir medan yang senang berteriak. Mungkin supir medan akan berkata, “Disana! Kau cari sendiri..lah.”
Ruas jalan dipenuhi toko-toko yang mayoritas menjual berbagai macam tas sandang, tali pinggang, sandal dan sepatu dari bermerek lokal hingga merek internasional. Mungkin sepatu Ronaldinho ketika tampil di laga Barcelona versus Real Madird juga dijual disini. Itu saking padatnya pertokoan dan lengkapnya merek yang mereka tawarkan. Dua jam aku berkeliling tak ada satupun yang mengenali sosok kakak dalam foto. Aku sempat berfikir apa kakak merubah penampilannya seperti; suntik silicon, sedot lemak, rebonding, operasi wajah, atau pakai susuk dari Ki Joko Bodo. Ber-istirahat sejenak sambil menikmati melon, semangka, mangga, pear, kelapa muda, apel, bengkoang, anggur, dan durian dalam satu pelastik dicampur es. Kubaca digerobaknya, “Es-Shanghai”. Tak kupedulikan apakah berasal dari Cina, Korea, Japan, atau Tibet sekalipun prihal dinamakan es-Shanghai. Puas membuang lelah, aku kembali berkeliling dari toko ke toko. Mulai tukang bakso sampai tukang soto. Tak hanya penjual, para pembelipun tak luput dari pertanyaanku. Namun sampai keringatku habis terkuras, sebji informasi-pun tak ada kudapat. Aku mulai stress. Padahal hanya ini alamat terkhir dari kakak. Apa aku harus mengobrak-abrik jawa barat agar menemukannya. Tidak mungkin kan? Apa aku harus melapor polisi? Polisi? Ya..itu jalan satu-satunya.
“Ini daftar orang hilang se-Bandung.” Polisi itu meletakkan lembaran kertas tebal di hadapanku.
“Ini, kabur dari rumah sebab ketahuan hamil, padahal umurnya masih empat belas tahun. Yang ini, hilang setelah mengikuti pengajian aliran sesat. Kemudian ini, hilang saat mendaki gunung tangkuban perahu. Nah! Kalau yang ini, hilang diculik kolor ijo…dan masih banyak lagi, itu pekerjaan rumah kami yang membludak..jadi adik jangan nambah lagi donk! Lapor polisi di medan saja,” kening polisi itu berkerut, “Bukan tidak mau membantu…ba..baiklah kamu tulis laporannya, tapi jangan banyak berharap..semua punya proses, bisa cepat juga lama, gimana?” ia memajukan wajahnya.
“Baiklah terserah bapak bagaimana baiknya.” Aku pasrah setelah melihat gelagat polisi itu. mungkin tak ada gunanya aku berharap dari penegak keadilan ini. Kupastikan setelah kutulis laporannya –ketika aku pergi –ia akan mencampakkan berkas itu ke tong sampah disebelahnya. Banyak kulihat kertas serupa formulir yang sedang ku-isi bergulung di dalam tong sampah itu. tapi aku berusaha bersikap husnudzhon.
Aku telah kehilangan arah dan tujuan di kota ini. Tak tau lagi apa yang harus kulakukan demi mencari kakakku. Kota ini besar, megah, dan sesak. Apa aku pulang saja? Itu sama saja membuat ibuku terkena serangan stroke. Waktuku memang masih dua puluh lima hari lagi, sesuai jadwal liburanku. Tapi kalau begini terus uangku sebentar lagi pasti akan habis, mencari tanpa tujuan. Pencarian ini tak ubahnya mencari unta di hutan Amazone. Nihil! Untuk itu kusiapkan tiga hari untuk memahami, meneliti, berbaur, dan meraup keterangan tentang profil kota bandung. Semuanya; Landmark, sejarah, bangunan, peristiwa penting, mall, hotel, budaya, tingkah laku, sampai kehidupan para pengemisnya.
Tempat pertama yang kukunjungi adalah kawasan Braga. Karena tempat itu katanya sangat ramai pengunjung. Intuisiku mengatakan kalau kakak pernah kesana atau mungkin kerja di kawasan itu. tak ada pilihan selain menaklukkannya.
Kawasan ‘Braga City Walk’ dihiasi bangunan mewah begaya klasik-romantik,art deco, Indo-Eropa, dan ekletik berjajar di sepanjang tepi jalan. Seakan menandakan kawasan Braga amat berjaya di zaman kolonial Belanda. Pertokoan elit seperti; Showroom mobil Renault dan Chrysler, toko jam Rolex, Casio, Seiko, dan Omega, bioskop majestic, gedung societiet Concordia. Ada juga toko ragam roti, restoran mewah, galeri lukisan sampai butik. Sayangnya, kesemua SPG, satpam, juru parkir, pramusaji, dan pekerja didalamnya tak ada seorangpun yang mengenali atau minimal pernah melihat wajah kakak di foto.
Di pinggir jalan Braga kupandangi kawasan yang disebut “De meest Europeessche winkelstraat van indie[3]” itu. landskap kian memudar bersamaan pudarnya harapanku di maskot Bandung yang masyhur dengan istilah bahasa Belanda disebut do Braga[4](Bragaderen).
“Punten ngaganggu bapak, kaleresan, abdi hoyong tumaros perkawis dimana Gedung Sate’[5]” sedikit kupelajari bahasa sunda agar memudahkanku meraih informasi.
“Kaditu[6], kang,..angkot CICAHEUM–LEDENG..lewat supratman!” bapak itu menunjuk persimpangan.
“Aduh punten janten ngarepotkeun, hatur nuhun..” ucapku terima kasih.
Selintas sebelum sampai di gedung sate kupikir kenapa dinamakan gedung sate, mungkin banyak jajanan sate di sepanjang jalannya. Atau dulu gedung itu pernah digunakan untuk memproduksi sate dengan skala besar. Kalau tidak, minimal ada foto sate, patung sate raksasa, yang penting berhubungan dengan sate-lah. Keinginanku mengadu pilihan kesana tentu dengan pertimbangan kakakku bekerja sebagai pramusaji sate. Padahal beberapa orang mengatakan tidak ada atribut sate disana. Tetapi aku tak percaya begitu saja sebelum mata ini langsung terjun ke lapangan. Dan kemungkinan kedua, firasatku mengatakan kakak pernah menyewa juru foto yang bersileweran di sekitar bangunan bersejarah itu.
Wah! Betul! Tak ada sebiji-pun tukang sate disini. Foto sate, patung sate, dan apapun yang berbau sate memang tak ada. Aku terpaku melihat bagunan apik dari dinasti Hindia Belanda itu. masih kental aroma tempo doeloe-nya.
Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional Indonesia dan teknik konstruksi Barat, sehingga disebut Indo Eropeesche ArchitectuurStijln. Jika yang melihat seniman Italia, Gedung Sate merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Italia dan Moor dari zaman Renaissance .
Ornamen berciri tradisional seperti pada candi Hindu terdapat dibagian bawah dinding gedung, sedangkan pada bagian tengahnya ditempatkan menara beratap tumpak seperti meru di Bali, sesuatu yang lazim pada gaya arsitektur Islam.
Setelah berkeliling ternyata keraguanku mengapa dinamakan gedung sate terjawab. Itu karena ornamen enam tiang dengan bulatan berbetuk mirip tusuk sate ditempatkan pada puncak atap tumpak. Dan ternyata kata seorang satpam biaya yang dikeruk untuk pembangunan Gouvernements Bedrijven, (nama awal Gedung Sate) sebesar 6.000.000 Gulden, mata uang belanda doeloe.
Kulihat sesama pengunjung mengapresiasikan kekagumannya dengan menyewa juru foto. Mereka bergaya narsis dengan background gedung yang sekarang telah dialih fungsikan menjadi kantor walikota Jawa Barat. Sedangkan aku. tak sedikitpun tertarik lagi dengan kemegahan maupun identitas Gedung sate yang mencapai taraf Internasional. Semuanya dilebur keputus-asaan. Ya..tak ada yang mengenali wajah kakak disana.
Aku berjalan gontai di pelataran Gasibu. Gadis-gadis ayu meliuk-liuk persis ikan lele ketika melakukan pergerakan senam di sepanjang pelataran. Aku terus berjalan sampai akhirnya aku menemukan bangunan berlambang burung Garuda. Monument tempat mengenang perjuangan rakyat Jawa Barat. Aku duduk di anak tangga monument sedangkan di sebelah kananku berkrumun mahasiswa-mahasiswi kasep[7] dan bening. Mereka duduk, tertawa, saling canda, berangkulan, menyeruput Soft Drink, dan menghisap rokok. Bisa kupastikan mereka adalah calon-calon pembangun bangsa ini dari sebuah universitas ternama di Indonesia, UNPAD. Di seberang sana universitas itu berdiri. Malam itu ntah pikiran apa yang merasuki –setelah begadang –aku tidur di sudut berkolong dari monument itu dengan teman-teman baru para joki Skateboard.
Esoknya kufokuskan untuk menjelajah mall di kota yang pernah diserang Inggris dan NICA[8],Belanda ini. Mulai dari: Bandung Indah Plaza yang kaki lima-nya dipenuhi aneka ragam hewan untuk dijual, Bandung Super Mall; Mall terbesar di Asia Tenggara, juga Plaza Dago, Planet Dago, Paris Van Java, Cihampelas Walk, terakhir Setrasari Mall. Hasilnya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Mataku sampai mengeluarkan tetes-tetes hangat saking beratnya perjalananku di kota orang demi menemukan sang kakak. Kulihat diriku sekarang tak ada bedanya dengan gembel; Kumal, rambut kering krontang, baju dekil ber-kelahak, hingga wajah hitam legam di bumbui abu dan asap knalpot. Di bawah terik matahari, dan dinaungi Gedung Merdeka yang dulunya tempat konfrensi Asia-Afrika, aku duduk menahan pedih di sekujur tubuh. Aku tak mungkin begini terus! Limbung kesana-kemari menyodorkan foto, bertanya apa ada yang mengenali.. .apa dengan Luas 16.767 hektare luas kota Bandung, serta 2.288.570 populasi manusia harus kutemui. Tidak! Itu tindakan bodoh! Aku semakin tidak yakin kalau kakak masih tinggal di Bandung. Banyak lapangan kerja di jawa. Ia bisa ke Sumedang sebagai pengrajin sepatu, Sukabumi sebagai juru masak, Bali sebagai pembuat baliho, atau mungkin ke Kalimantan dibawa penculik garong. Semua adalah kemungkinan-kemungkinan nyata bagiku.
Kulihat uangku menipis drastis, tinggal lima ratus ribu. Padahal baru sepuluh hari aku terperangkap di kota kembang ini. Aku berniat pulang. Kutelepon ibu di Medan. Ternyata ibu murka kepadaku. ia menangis sejadi-jadinya.
“Ibu rasa kau tak ikhlas mencari kakakmu, Fahmi!” ibu menjeratku.
“Tidak ibu, Fahmi ikhlas. Tapi ini semua sangat berat. Ibu tidak merasakannya,” ujarku pelan.
“Apa! Tidak merasakan! Jadi kau pikir ibu tak merasakan sakitnya kehilangan seorang anak! Ibu ikhlas mati jika ditukar dengan keselamatan kakakmu!” ibu murka kepadaku. kali pertama ibu mengeraskan suaranya kepadaku membuat pipiku basah kuyup. Terus..berulang-ulang hingga malam memakanku dengan gelapnya. Sekali lagi aku harus tidur di emperan toko Headcore Barbershop.
AllahuAkbar…AllahuAkbar!!
Aku tersentak mendengar suara mendayu menggema-gema. Pasti suara azan. Telah subuh rupanya. Aku bangkit bergegas menuju masjid. Namun, kudapati sesuatu ganjil di bagian belakang…dan… Astagfirullah! Sakuku sobek seperti bekas digunting…dan takdir buruk menyapaku. Kudapati dompetku telah raib...
Aku menyadari ada egoisme bersarang di hatiku. Selama ini aku mengandalkan kemampuan diri sendiri tanpa menyadari aku punya Tuhan. Kusadari aku tak pernah meminta petunjuknya, minim berdo’a, dan lebih yakin dengan segala bentuk materi. Lihat! Uangku raib. Siapa yang mau menolongku saat ini. Bagaimana aku pulang? Apa meminta kiriman dari ibu! Tidak! Disini, di masjid ini, aku bertekad tidak akan menyusahkan ibu. Aku akan mencari kakak dan aku akan mengusahakan uang sendiri untuk pulang. ini perjuanganku. Kupanjatkan do’a kepada sang tuhan agar aku diberi kekuatan untuk selalu tabah dan sabar. Aku teringat dengan satu ayat tentang makna sabar:
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji tuhanmu ketika bangun berdiri[9]”
Kuhaturkan tasbih ketika aku beranjak meninggalkan masjid itu. sekarang hanya satu harapan terakhir yang akan kubuktikan kebenarannya. Menunggu ketetapan tuhan. Tuhan melihatku, mendengar do’aku, memahami kemelut hatiku. Tuhan pasti tahu dimana kakak. Ya, hanya dia yang tahu. Ini! Aku akan memberikan satu bentuk ‘sabar’ kepadamu. Sabar memohon darimu, sabar menunggu ketetapan untuk hamba yang hina ini. Ketika kuikat tali sepatu kembali pesan sebuah ayat yang pernah dikatakan ibu –setelah mendengar pengajian –tentang sabar yang baik;
“Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji tuhanmu pada waktu petang dan pagi[10]”
Berkat sabar tuhan membenarkan janjinya. Dengan sabar mohonlah ampun kepadanya, pasti akan diampuni. Ibu juga menjelaskan bagaimana mengungkapkan rasa sabar:
“Sabar yang baik itu adalah sabar tanpa bosan, sabar tanpa gelisah, sabar tanpa sesak di dada, dan sabar tanpa kesal atas kesabaran itu sendiri. Sabar yang memadukan lisan dengan hati. Itu sabar yang suci.” Kata ibu.
Dengan itu kusimpulkan sabar itu adalah cahaya hati.
Alhamdulillah aku diterima sebagai kernet angkot. Aku memilih menjadi kernet angkot juga dengan pertimbangan, setidaknya kakak akan menaiki angkot ketika akan bepergian. Kuberharap aku akan menemukannya di jalan.
“Ciroyom! Cicaheum neng..kadieu..sokh! hareudang[11] neng…” begitulah seorang kernet menggoda para sewa.
“Cipaganti kang!”
“Tepat pisan neng, sokh naik, calik[12] keujung..kosong eta’...leumpang[13] pir!”
Berhari-hari aku terjun di jalanan. Tapi tetap belum kutemukan sosok kakak. Yang mirip-pun tidak ada. Namun aku tetap menjunjung kesabaran. Aku mulai berganti-ganti jurusan, dari angkot jurusan; ledeng-abd.Muis, Ciwastra-Cicaheum, Dago-Riung bandung, dll.
Aku bergumul dengan tantangan di jalanan. Berhadapan dengan kesulitan-kesulitan, menghirup racun yang berupa-rupa, dan melepuh dipanggang matahari. Aku bak backpacker yang kehabisan bekal. Terombang-ambing di lautan manusia tanpa nakhoda. Tapi, disini aku mendapat ekstra-empirik dalam menikmati liku-liku kehidupan. Aku seorang petualang kehidupan. Dicengkram angin, terguyur hujan, disepuh matahari, dan itu sungguh menggetarkan. Sedikit lagi…ya, sedikit lagi aku akan menaklukkan Bandung seperti 17 januari 1948 saat NICA menguasai Jawa Barat. Aku akan mengobrak-abrik Bandung dari toko kaki lima hingga Hotel berbintang lima, terus sampai ada, walaupun itu secuil informasi tentang kakakku. Kota ini merenggut orang yang paling kami sayangi, menenggelamkannya tanpa bekas, dan itu harus dipertanggungjawabkan.
Aku bertingkah kadang sebagi penyusup, detektif, atau wartawan. Aku bergaul dengan musuhku, –sebagai suporter PSMS –para supporter persib Bandung. Menonton pertandingan Garuda Flexi, melihat kemungkinan kakak yang menyukai Bola Basket. Aku selalu hadir di Radio Bandung, dari; AUTO RADIO 88.9 FM, Ardan 105.9, Hard Rock 87.7, Prambors 98.4, dan Female 96.4 FM. Ku-Request lagu-lagu kesukaan kakak, curhat, juga kirim salam kepadanya. Kuharap ia mendengar. Kutonton siaran televisi Bandung di warung-warung yang kusinggahi, seperti; Bandung TV, Padjadjaran TV, STV Bandung, dan tak ketinggalan TVRI Jawa Barat. Syukur jika kulihat kakak sebagai pembawa acara atau berita. Tak henti disitu, kubuat info kakak sebagai orang hilang, dan kukirim ke sejumlah surat kabar termasuk; Pikiran rakyat, Galamedia, Radar Bandung, termasuk Tribun Jabar.
Kucari kakak di pusat barang bekas di pasar Gede Bage, daerah Dalem Kaum. Ke Pasar Baru, dan mengitari Alun-Alun. Kususuri sungai Cikapundung dan Sungai Citarum beserta anak-anak sungainya...mungkin kakak sedang mencuci pakaian disana.
Di hari ke dua puluh lima, pagi itu. Saat kesejukan melecut semangatku masih sebagai kernet angkot. Angkot melaju santai. Sesekali aku berteriak, “Kang..neng, Antapani!” gadis-gadis ABG itu berjejer-jejer di tepi jalan. Sungguh berbeda dengan Medan. Disini lima dari sepuluh gadis yang berdiri, rautnya bening. Kalau di Medan, ah sudahlah! Dilarang mengghibah!
Aku berdiri di pintu angkot. Membiarkan angin membelai-belai rambutku. Ketika di persimpangan kulihat seorang perempuan sedang menunggu angkot. Ternyata ia tak menyetop angkot kami…saat melewatinya aku seperti pernah melihat wajahnya…dimana? aku mencoba mengingat di iringi laju angkot… Astaga! Ingatanku mencuat menampilkan satu sosok. Perempuan itu persis kak Ratih…teman kakak saat berangkat. Kontan aku loncat dan berlari menuju persimpangan tadi. Dari jarak lima puluh meter kupanggil dia, “Kak..kak Ratih!” ia melihatku. Dan, ia lari…kurang ajar! Kenapa ia lari. Sial! Aku tak bisa menyeberang jalan. Kupaksakan menyeberang walau mobil-mobil itu melaju kencang…hampir saja pengendara sepeda motor menghantamku dari samping. Untung rem-nya cakram. Sempat aku diguyur sumpah serapah, namun tak kuhiraukan. Aku terus mengejar si Ratih itu. orang yang mengajak kakak ke kota ini. Ia pikir ia bisa kabur dariku...jarak kami semakin dekat. Ia terlihat kecapean berlari dengan celana Jeans. Sampai akhirnya aku mendapatkannya…
“Hosh…hosh…ke..napa lari! Dimana kakak!” kubentak ia.
“Kupikir copet. Kakak mana?” jawabnya. Aku yakin ia berbohong.
“kakakku, Lia!” kataku setengah berteriak. Ia menundukkan wajahnya. Kurasakan ia menyimpan sesuatu yang tak boleh kuketahui, “Katakan kak, dimana kak Lia? Aku telah mencarinya hampir sebulan…dan kau tau, bagaimana menderitanya seorang ibu kehilangan anaknya! Apa kau tau!” kuangkat wajahnya..ia meneteskan air mata. Aku diam. Mataku memerah diiringi lelehan bening menyusuri pipiku. Tak bisa kubayangkan bagaimana keadaan kakak, menyaksikan kak Ratih meneteskan air matanya. Apa yang terjadi? Apa sesuatu yang buruk menimpa kakak? Lidahku kelu untuk berucap. Kupandangi sekeliling membuang kecewa…
“Ini..” ia menyodorkan sebuah kertas mirip kartu nama. “Cari kakakmu disana, dan pakai ini,” ujarnya lagi sembari memberikan cincin putih ber-logo dasi kupu-kupu.
“Apa betul kakak disini?” tanyaku. Ia mengangguk…kontan aku beranjak pergi.
“Hai..hati-hati…” sayup-sayup petuahnya mengait telingaku.
####
“Berbeque Salon & Panti Pijat” kubaca tulisan di papan reklame yang terletak di pinggir jalan. Papan itu menunjukkan kalau Ruko bertingkat itu adalah miliknya. Aku mulai tidak yakin keberadaan kakak disana. Apa si Ratih itu berbohong? Ah, apa salahnya mencoba. Kusiapkan mental baja untuk menerima segala kemungkinan. Kutarik nafas dalam-dalam lalu melangkah kesana.
Kudorong pintu kaca itu. Aku disambut kesejukan yang di hembuskan AC. Aku diam menyaksikan ruangan memanjang itu. Sebelah kanan beberapa pelanggan santai membaca majalah di Kursi Reflexyology , dan Barber Chair–rambut mereka ada yang di Creambath, Rebonding, cuci di wash bak plus Blow, pelurusan Makarizo, Smoothing Loreal, Bleaching, toning dan Maji Brown–dengan tenang. Aku mulai menyortir para pekerjanya. Oh, tidak! Rata-rata pekerja itu bukan perempuan sejati, hanya segelintir dan selebihnya ‘kaleng’. Oh..seseorang dari mereka menuju kearahku.
“Ada lekong.[14]Butuh perawatan plus-plus kang? Atau, kesindang pingin di kriuk-kriuk?” wajahnya lumayan cantik di antara yang lain. Tapi, aku mungkin tertipu kalau ia pasti kencing berdiri. Apalagi buah khuldi d lehernya memperkuat sebenarnya ia sejenis dengan Adam. Ia menatapku binal. Matanya jelalatan tak tentu arah.
“Lambreta[15] pisan euy…akika banyak planggan lho, kalo situ diem ajay, akika capcus nie…” hiy, si akika mencolek pipiku. Aku merinding.
“Ini mas..”
“Hey! Mas-mas, siapa itu mas? Dieu kagak ada mas-mas. Panggil akika, Laura. Inget! L-a-u-r-a.”
“Ini mbak Laura, saya ingin bertemu dengan yang bernama Lia…” ia mengerutkan dahi. Tangan kiri melintang di perut, sedangkan tangan kanan berdiri dengan jemari yang sengaja ia lentik-lentikkan.
“Ma-ap ya brondong perawan, dieu kosong yang namanya Lia…Tia, Nia, dan Pia, ada. Itu mereka, hay ladies!” buset! Kenapa yang melirik alien semua.
“Oke! No problem. Emh, pegal euy…pijat dulu ah!”
“E..ee, lihat jarinya dulu!” si akika yang lebih suka di panggil laura itu melihat jariku. Ia memandang cincin seakan memerhatikan keasliannya. Aku baru ngeh bahwa cincin itu ternyata sarat masuk pintu di ujung sana. Tempat yang kusinyalir keberadaan kakak. Aku di bawa berjalan menuju pintu itu. aku gugup. Bukan karena takut keringatku mengucur. Tapi, Lebih kepada apa yang di kerjakan kakak di balik pintu itu. Belum terbayangkan di otakku bagaimana olah kerja para ‘suster’ Panti Pijat.
Sekarang aku berada di balik pintu tadi. Yang kulihat disini adalah perempuan-perempuan asli. Para pelanggan tiduran di atas Facial Bed. Ntah apa yang dilakukan suster-suster itu di wajah mereka. Aku hanya melihat sekilas dari celah-celah kamar yang bersekat-sekat.
Aku terus dibawa menaiki tangga ke lantai dua. Sama, sebuah pintu menghalangi. Dan ketika dibuka aku menangkap pemandangan surga ada di dunia. “Astagfirullah!” ujarku pelan. Darahku berdesir. Lututku ngilu bukan main ditambah kepalaku seakan nanar.
Lihat! Tempat tidur sepinggang berjejer rapi kelang lima meter. Di atasnya bersemayam pria bertelungkup dengan hanya memakai celana pendek. Di samping mereka perempuan-perempuan oval dua puluh tahunan, memainkan jemarinya di punuk-punuk pria-pria itu. Sesekali perempuan itu mencelupkan empat jarinya ke dalam mangkuk, lalu kembali ber-atraksi. Wajah para pria merem-melek. Dan melihat kejadian ini, sepertinya hormon testosteron-ku memanas.
“Sekar! Dieu, ada Bronies euy…” mbak Laura yang menemaniku memanggil seseorang. Orang yang dipanggil langsung datang, padahal ia sedang melayani pelanggan.
Perempuan itu mendekati kami.
“Kak, kak Lia?” aku memastikan perempuan berponi itu kakakku. Ia memandangku lekat.
“Fa..Fahmi.”
####
Bagi mereka taman ini sangat indah. Bunga-bunga terhampar berkelok-kelok menyusuri jalan-jalan berbatu yang sengaja di buat untuk para penyakit rematik. Pohon-pohon yang rindang menghalau sengatnya matahari. Angin pun bersahabat menawarkan kesejukan alami. Tidak dengan hatiku saat ini. Hatiku membara melebihi gejolak matahari. Sekujur tubuhku panas melepuh. Jantungku berdentum-dentum ingin meledak. Dan air mataku tak henti bercucuran. Bagiku taman ini salah satu dari taman-taman neraka.
“Kenapa kakak lakukan ini, apa tidak ada pekerjaan yang lebih halal, hiks..hiks,” aku meminta penjelasan darinya. Ia memandang jauh..jauh..seketika buliran bening menjamah pipinya. Ia tersenyum.
“Satu tahun lalu. Awal dimana kakak menganggap dunia ini sangat kejam. Merasa hidup kakak tak punya masa depan. Akan dihina, dicemooh, dan diusir. Sebab sesuatu yang paling beharga dari seorang wanita telah di renggut, sebuah tanda kehormatan telah di nodai dengan senyuman…kau tau Fahmi apa maksud kakak?” ia memandangku dengan tersenyum walau air mata menggaris di dua pipinya. Berat rasanya untuk menjawab dengan lisanku, karena aku telah paham apa yang ia maksudkan. Aku berpaling menghindari tatapan kakak. Batinku gaduh. Ingin rasanya kuhunus pisau lalu kutancapkan di kepala orang yang telah tega membunuh masa depan kakak. Apa yang harus kukatakan pada ibu di hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia baginya. Anaknya telah hadir..tapi tidak lagi utuh sebagaimana sebelumnya. Kupaksa mataku memandang kakak, lalu aku mengangguk.
“Jika kau paham..sekarang pulanglah! Dan katakan pada ibu aku baik-baik saja…” ia menghapus air mata itu, “Hey, untuk apa kau kesini, jauh-jauh. Bukankah kakak mengirimi kalian uang setiap bulan, apa tidak sampai..” ia keheranan. Suasana wajahnya berubah drastis.
“Uang? Uang apa? Sudah setahun kau tidak memberi kabar, apalagi uang. Jangan becanda kak!” aku mengelap air mataku dengan ujung baju.
“Berarti si Ratih tak menyampaikannya…jujur, kakak memang tidak pernah memberi kabar, tapi kakak selalu memberikan uang kepada Ratih untuk dikirim kepada kalian, ternyata kakak salah menilainya..” sekarang aku paham kenapa si Ratih itu lari ketika melihatku.
“Ah sudah itu tak penting, sekarang mari kita pulang, kak,” aku mulai memaksanya.
“Tidak! Kakak tidak bisa pulang. Kakak belum siap menerima kenyataan. Setahun terlalu singkat untuk memendam kenangan pahit ini…” Ini lima ratus ribu, sekarang pulanglah!” ia memberiku uang kontan.
[1] silakan
[2] Betul…itu sekalian dengan si perempuan
[3] Pusat pertokoan bergaya Eropa terfavorit di Hindia
[4] Istilah: wajib kunjung jalan Braga
[5] Maaf mengganggu bapak, saya ingin menanyakan dimana gedung sate.
[6] disana
[7] cakep
[8] Nederlands Indie Civil Administration)
[9] (Q.S At-Thur{52}:48)
[10] (Q.S Al-mu’min{40}:55)
[11] kepanasan
[12] duduk
[13] jalan
[14] Bahasa banci:laki-laki
[15] lambat